Chapter 3: Get a Gift

312 31 1
                                    

Saat Vira dan Maisya sampai di ruang media 3, di sana telah ramai. Meja kaca panjang terbalut tirai merah menjadi tempat terhidangnya makanan. Aroma masakan modern yang masih hangat tercium merasuki indera penciuman kedua siswi SMA Bimasakti ini, membuat cacing di dalam perut mereka ikut berdemo ingin mencicipi masakan tersebut.

"Kau sibuk sekali, Hafiza," tegur Frai seraya menjatuhkan bokongnya pada kursi merah maroon. Di hadapannya terlihat susunan piring, sendok, garpu, pisau, dan seloki tinggi diatur apik sedemikian rupa sehingga memudahkan orang memakan hidangan. "Table manner? Wah, serius sekali kau dalam uji coba masakan ini. Rapi sekali penyusunannya."

Hafiza menghentikan langkahnya untuk meletakan hidangan baru di meja lalu kembali berjalan. "Aku tidak melakukannya. Tentu saja ada yang membantuku. Aku tidak mengerti penyusunan piring," Hafiza mulai mondar-mandir menghadap kompor dan meja tempatnya memotong beberapa roti lalu ke depan meja lagi. "Hufft, gara-gara Dahlia tidak bisa datang malam ini, aku jadi sibuk luar biasa. Bersyukur anggotaku Devie hadir dan Daniel ikut membantu."

Sementara itu, Vira berpisah dengan Maisya dan duduk di sudut kanan meja melingkar−tepat di samping Boby. Ada hal yang harus ia bicarakan. Ia menyenggol tubuh gempal di sampingnya. "Hm, Bob. Apakah kau merasa memiliki pengagum rahasia?" tanya Vira bersiap mengeluarkan lipatan kertas dari sakunya.

Boby menghentikan kipasan pada tubuh gemuknya. "Maksudmu?"

"Ya, seperti secret admirer gitu," jelas Vira memberikan kertas ukuran A5 yang ia dapat tadi. "Seperti ingin memberimu hadiah, mungkin?"

Boby terheran-heran membaca tulisan For Boby, You will get a gift di kertas itu. Namun, tak lama, tawanya pecah. "Wah.., bukankah bagus? Aku akan mendapat hadiah. Mungkin saja kau benar. Orang ini pengagumku."

Pengagum? Seorang pengagum yang mengirimkan surat di cermin berupa tulisan dengan font chiller dan isi yang patut dipertanyakan artinya. Terlebih, surat ini pasti tidak sepenuhnya ditunjukkan pada Boby karena diletakkan di toilet wanita−tempat yang tidak akan Boby masuki. Ini bukan pengagum berat, tapi lebih seperti seorang maniak. Itu yang Vira pikirkan. Ada yang tidak beres.

"Dapat dimana?"

"Eh?" Vira terkejut mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Boby. "Di cermin wastafel toilet wanita. Kenapa?"

Boby terdiam. "Tidak," jawabnya. Tapi Vira berani bertaruh, ia tidak melihat tawa Boby lagi. Melainkan raut ketakutan dan hal lain yang tidak bisa ia definisikan.

Tiba-tiba perhatian Vira teralih pada beberapa pemuda yang berdiri di depan pintu, yaitu Fery, Vino, dan Adit yang baru kelar dengan ruangan dekorasi yang rusak.

"Hoho.. bagus, Daniel. Kau seenaknya berada di ruang ini untuk menghirup aroma sedap masakan, sedangkan ruang lomba rusak karenamu. Dasar, Bule Imbisil!" kata Fery misuh-misuh tidak jelas karena lelah dan langsung duduk.

"Kan sudah kubilang, aku lahir di Indonesia dan bukan bule, Kapal!" balas Daniel balik mengejek Fery dengan sebutan kapal. "Lagipula, aku berniat baik membantu Hafiza dan Devie memasak serta mengemas ruang makan. Come on, Kapal. Apa kau tega melihat dua gadis bekerja terus tanpa bantuan?"

"Alasanmu saja, Dumbass!"

"Terserah, Kapal!"

"Oke guys, masyarakat Eropa makan dengan tradisi bicara pelan ala bangsawan. Sebelum makan, berlatihlah untuk tidak bicara keras. Hufft, gara-gara Helda memanggil lebih awal, aku jadi harus mengurus kalian hingga tergopoh-gopoh seperti ini," kesal Hafiza meletakkan lobster panggang bersaus ke atas meja.

IN Series 2: CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang