Perut Helda terasa berputar. Kepalanya sakit dan suhu tubuhnya tiba-tiba semakin meninggi. Ia sedang mengetik laporan dengan cepat, namun karena kondisi yang benar-benar tidak fit, ia menghentikan kegiatan itu dan menangkupkan kepalanya di atas meja―di balik lipatan lengannya.
Maisya dan Adit juga ikut membantu mengetik laporan. Kesadaran pribadi, karena hanya Helda sendiri yang mengerjakan tugas kesekretariatan. Masih ada waktu setengah jam sebelum rapat dimulai pukul 4 sore ini. Jadi, mereka bertiga masih bisa menyelesaikan laporan.
Malini memerhatikan gerak-gerik sekelilingnya. Tugasnya dalam kepengurusan memang mudah sebagai koordinator kesehatan. Mata hitam kelam itu hanya memerhatikan Fery yang sedang berdiskusi dengan anggotanya di depan laptop dan aplikasi penataan desain ruang. Ia ingat akan kejadian yang lalu dimana ia menceritakan semuanya pada Fery. Sebenarnya, hal biasa jika saja firasatnya tidak mengatakan ada orang yang menguping pembicaraan mereka.
Ia benar-benar takut ada orang yang mati lagi karenanya. Malini sendiri sudah mengontrol apapun yang ia makan. Tapi, sepanjang ini, tidak ada yang menuang racun atau apapun pada makanan yang berefek aneh di tubuhnya.
Tatapannya beralih pada sekumpulan siswa di meja tempat Helda mengetik. Ah ya, ia ingat, teman satunya itu tadi siang demam. Anehnya, pada pagi hari, ia tidak demam dan masih sehat-sehat saja. Panasnya dimulai sejak ia makan pada jam istirahat.
Eh, makan? Malini langsung berdiri dan benar-benar berpikir bahwa Helda keracuan. Ia berkejar ke meja gadis itu―memastikan keadaan Helda tidak sesuai dengan yang ia pikirkan. Namun, belum juga Malini sampai di mejanya...
"Huweek!"
Semua mengerjap dan merinding secara bersamaan.
Helda memuntahkan isi perutnya. Aroma asam lambung terkuar di lantai tempat cairan menjijikan itu berada.
"Ah..ma..maaf," ucap Helda benar-benar tidak enak hati. Ia bergegas pergi dari sana untuk mengambil peralatan kebersihan di sudut ruang media. Dengan tubuh sempoyongan, ia berjalan sambil memegang meja terdekat.
"Biarkan saja!" teriak teman panitia yang lain mengejar Helda. Dan belum juga mereka sempat mengejar Helda,
BRUK!
"Huaaa pingsan!" teriak Septha panik yang telat menyanggah gadis itu. Dilihat bahwa Helda belum sepenuhnya pingsan, ia hanya sulit memulihkan kesadarannya.
"Pusing..," ujar Helda lemah. Matanya serasa berkunang. Ia menarik napas sebelum benar-benar tidak sadarkan diri.
"Ini gara-gara Arya! Sudah kubilang, beri saja izin padanya untuk pulang!" kata Septha misuh-misuh.
Yang lain segera membersihkan kotoran di lantai. Sedangkan Malini hanya menatap dari jauh. Wajahnya pucat dan tidak percaya. Ia mengingat tentang kematian Margi. Ia takut hal itu juga terjadi pada Helda.
Kala beberapa laki-laki hendak membawa gadis yang pingsan itu ke ruang kesehatan, Arya dan beberapa dewan guru memasuki ruang media 2 ini. Mereka bingung melihat seseorang dibopong. Walau sudah mengetahui yang pingsan itu adalah Helda, tetap saja Arya berwajah datar seakan tidak peduli sama sekali.
Setelah cukup melihat Helda, Arya berbalik hendak masuk ruangan dan langsung bertemu muka dengan Septha yang menudingnya. "Karena kau, Helda pingsan seperti itu. Lebih baik kau membiarkannya pulang."
"Dan lebih baik kau bersiap. Tiga menit lagi rapat dimulai," sahut Arya tak acuh lalu duduk di bangkunya.
Wajah Septha memerah. Belum juga ia membentak, kerah belakangnya telah ditarik oleh Vira. "Kau lebih baik membantuku. Bertengkar dengan monyet bodoh bisa membuatmu tambah goblok."
KAMU SEDANG MEMBACA
IN Series 2: Cermin
Mystery / Thriller[COMPLETED!] Vira bergabung menjadi salah satu panitia ulang tahun sekolah SMA Bimasakti. Bersama Fery yang notabenenya anggota kepengurusan organisasi sekolah, ia pun terpaksa menjalaninya. Ditengah dilema karena harus membagi waktu antara bekerja...