Chapter 12: Ayo Kita Lacak

263 29 5
                                    

Benar-benar berita buruk ketika sekolah memutuskan tidak melanjutkan kegiatan ulang tahun sekolah. Kepala sekolah sendiri sudah tidak mampu mempertahankan pendapatnya didepan tuntutan pihak keluarga Malini dan Fery. Tapi, hal ini lah yang membuat Vira pusing.

Sambil mengaduk-aduk es cendolnya, Vira melamun. Ini benar-benar hari Senin yang buruk. Pihak sekolah mengajak seluruh panitia berunding untuk membatalkan acara. Tentu terjadi pro-kontra atas masalah itu. Akhirnya, Vira hadir di rapat itu dengan menyatakan diri bahwa ia akan bertanggungjawab jika terjadi kematian lagi. Ia siap ditangkap kepolisian. Dengan syarat, acara harus berlanjut.

Pernyataan bodoh. Bahkan pihak sekolah sempat menahan tawa. Tapi, pendapat itu didengar ketika Arya juga ikut membelanya dan menaytakan diri bahwa ia juga ikut bertanggungjawab.

"Bodoh," keluh Vira menekan-nekan sendok di tangannya. Ia menangkupkan kepalanya, merutuki kebodohannya. Pelaku pun tidak bisa dilacak karena ternyata kertas yang dijadikan jebakan untuk pelaku telah dimusnahkan. Mungkin dibakar.

"Vir..," panggil seseorang di depannya.

Gadis berkacamata ini pun mendongak dan melihat satu-satunya orang di kantin ini yang sedang bicara padanya. "Hm kau, Arya. Ada apa?" tanya Vira langsung menegakkan tubuhnya. Mereka sudah berbaikan secara tidak langsung sejak Arya mulai membongkar semuanya pada Vira.

"Ada surat tertempel di cermin wanita. Dua lembar. Kurasa kau bisa memberikannya pada polisi," kata Arya menyerahkan empat lembar kertas yang sama ukurannya namun beda font dan isi tulisannya. Dua lembar surat yang berbeda bermotif indah dan tulisan dengan format yang lebih cantik dibanding chiller. "Sedangkan dua surat ini yang sering diselipkan di pakaian maupun lokerku.."

"Terima kasih," Vira mengambil kertas itu sambil tersenyum. Ia senang Arya sudah mau jujur padanya dan memberikan surat-surat yang sering Arya dapatkan. "Arya, berhati-hatilah. Setelah ini kau juga akan ikut bertanggungjawab penuh tidak hanya pada ulang tahun sekolah, tapi juga kematian yang mungkin saja terjadi pada dua orang di kertas ini," lanjutnya sambil memutar-mutar kertas tersebut.

"Aku tahu..," jawab Arya memandang teduh mata berkaca di depannya. "Tapi aku yakin kau tidak akan mengulangi kesalahan dengan membiarkan orang lain tewas lagi, kan?"

***

Fery memerhatikan telapak tangannya yang telah dijahit. Ia memiliki firasat aneh tentang hal ini. Pemuda ini jadi teringat ketika pembunuh hendak menembak lehernya tapi ia melindungi sehingga telapak tangannya ikut tertembak. Matanya terpejam. Sedikit kesal karena hari ini ia masih berada di rumah sakit sedangkan timnya sedang berusaha keras melawan tim lain di final.

"Kuingatkan, Fer. Kenapa kau tidak berkonsultasi pada kami dulu tentang kecurigaannmu? Aku masih menyayangkan sikapmu yang sok pahlawan seperti tiga malam yang lalu."

"Itu demi mendapatkan maaf dari gadis seperti Vira. Ia tidak akan memaafkanku dengan cara biasa. Tapi, aku tidak mau menjadi orang yang meminta maaf lebih dulu karena ia yang memulai semuanya,"

"Kau meremehkan kami," kata Dirpan sebagai satu-satunya orang yang menemani Fery di sini. Ia agak kesal karena harus menutupi pada atasannya bahwa Fery telah menemukan poin besar identitas pelakunya. "Alasanmu karena khawatir polisi bergerak kasar dan membuat pelaku kabur. Untuk kau tahu, polisi tidak selemah yang kau kira."

"Bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu? Kau saja masih tidak jelas mendeskripsikan TKP tempat Malini tewas," sahut Fery tenang. Ia menggerakkan tangan melingkari tangan yang lain―memberi kode. "Kalian tidak bisa menemukan bukti lain? Sidik jari?"

"Tidak, terlalu banyak jejak, sampai-sampai tidak bisa dideskripsikan secara pas. Disisi lain, kami tidak menemukan sidik jari yang bisa dilacak pada senjata."

IN Series 2: CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang