Epilogue

306 32 5
                                        

Hiruk pikuk perayaan ulang tahun sekolah menghiasi malam yang cerah ini. Bertempat di halaman depan sampai hall sekolah, kegiatan sejauh ini masih berjalan dengan lancar sebagaimana yang diinginkan. Tidak seperti tahun sebelumnya yang menggunakan hotel untuk acara besar ini, kali ini dilakukan di sekolah agar mengembalikan citra sekolah.

Fery beranggapan, masalah tidak akan selesai jika mereka terus lari tanpa memperbaikinya. Sikap itulah yang sebelumnya direncanakan oleh pihak sekolah. Walaupun pelaku pembunuhan sudah dinyatakan tidak ada, tapi sekolah tetap memaksa pembubaran panitia dan pembatalan kegiatan ulang tahun sekolah agar tidak ada kejadian yang makin merusak citra sekolah. Saat itulah pemuda itu ingat, seluruh panitia melapor ke Arya dan tidak terima atas keputusan sekolah itu. Setelahnya, tugas Arya yang akan meyakinkan pihak sekolah. Seperti yang diharapkan, acara tetap dilanjutkan dengan kewenangan Arya untuk merombak kembali panitia yang telah kehilangan anggotanya, seperti bidang administrasi dan kesekretariatan, konsumsi, dan kesehatan.

Mengingat sulitnya mencari anggota yang bersedia menggantikan anggota yang sudah meninggal, membuat panitia yang tersisa sempat kebingungan. Yang tersulit adalah mencari pengganti Helda yang memegang administrasi. Bersyukur Ary yang baru pulang dari program pertukaran pelajar langsung bersedia menggantikannya. Ia tertarik karena rivalnya―Fery―yang meminta padanya.

Fery memerhatikan sekeliling. Halaman luas sekolah sebagian besar ditutupi kain putih dan dekorasi serba warna putih dengan panggung yang terlihat cerah dan kontras dengan suasana di malam hari. Seluruh tamu yang datang juga mengenakan dresscode putih yang terlihat elegan. Begitupun dengan ruang hall tempat para tamu utama berada sudah disulap menjadi ruangan yang sangat indah. Fery bertaruh, rancangannya bisa disaingkan dengan dekorasi tahun kemarin yang dilakukan di hotel.

Matanya tertutup sesaat, mengenang masa sulit mereka. Dalam waktu sebulan―yaitu sebelum acara puncak ulang tahun sekolah, mereka harus mengadakan minimal dua lomba eksternal. Menjadi panitia juga berarti mereka memiliki tanggungjawab memperbaiki citra sekolah dengan mengundang sekolah lain dalam perlombaan dan memastikan semuanya sukses. Suka duka mereka alami, terutama saat menginap di sekolah. Banyak hal yang membuat mereka takut untuk bergerak di sekolah pada malam hari. Fery juga menjadi saksi, betapa banyaknya teman lelakinya yang terbayang kejadian saat Helda memilih bunuh diri dan terjun dari lantai 5 rumah sakit. Saat mereka bekerja di lantai atas, tidak ada satupun yang berani menatap ke bawah. Ketakutan mereka menghambat persiapan acara, namun bersyukur tekad untuk memperbaiki segalanya menjadi tameng untuk menaklukan rasa takut tersebut. Jika tidak melawannya, mereka tidak akan bisa membuat acara semewah ini.

Pemuda ini memerhatikan deretan siswa-siswi yang sedang mengambil makanan. Saat ini adalah istirahat sambil menunggu kedatangan bupati di Acara Puncak Perayaan Ulang Tahun SMA Bimasakti ke-9 ini. Fery memerhatikan sekeliling dan tatapannya jatuh pada rangkaian bunga warna kain warna merah yang jatuh dari dinding. Fery sebagai panitia bagian dekorasi dengan sigap hendak merapikan, namun diambil alih oleh Yanuar.

Fery menghela napas dan memperbaiki letak mawar hitam di saku dada jasnya yang dirasa kurang rapi. Pemilihan tema White Glory ini bukanlah tanpa alasan. Arya langsung menyarankan penggantian tema karena merasa mereka memulai semuanya dari awal. Kegelapan suasana sekolah ini harus ditutupi dengan sesuatu yang suci dan indah. Terlebih, tema lama merupakan sepenuhnya saran dari Helda. Tidak ingin mengingat segala hal buruk yang pernah terjadi, membuat yang lain setuju.

"Selamat ya, hei Si Peringkat Dua Umum," tegur seseorang di belakang Fery. Ketika menoleh, ia mendapati sahabatnya yang berada di belakang. Vira menggunakan gaun putih dengan bahan satin dengan detil bordir dan lace di bagian bawah pinggang. Ia mengenakan sepatu jenis dolly shoes warna putih yang senada dengan gaunnya. Sebuah mawar hitam sebagai identitas panitia tersemat di pinggang kirinya. Keindahan Vira malam ini dipadu dengan bando mungil warna putih sebagai identitas panitia perempuan dan make up tipis. Walau di tangannya memegang beberapa lembar kertas jadwal kegiatan dan daftar tamu, tapi tidak sedikitpun mengurangi sosok elegannya. Vira tersenyum miring pada sahabatnya yang diam. "Kenapa?"

Fery tersadar. Oh, persetan dengan pikiran anehnya. Vira malam ini terlihat sangat memesona. Ia mengangguk canggung. Barusan memang pembacaan peringkat juara umum dan hasil tidak terduga didapat Fery yang notabenenya sedang dalam masa paling sibuk sepanjang ia pernah bersekolah. "Kau juga selamat atas peringkat... emm..,"

"Aku peringkat lima umum," koreksi Vira mengingatkan. Cukup jauh juga jatuh peringkatnya.

"Sudahlah," kata Fery merangkul pundak sahabatnya. Ia menggunakan sarung tangan yang merupakan identitas panitia laki-laki. "Kau tetap yang terbaik di mataku."

Jika teman wanitanya yang lain, mendengar gombalan Fery pasti membuat mereka salah tingkah. Tapi kepalang terbiasa, Vira malah menampik tangan Fery dan bersiap menendangnya―benar-benar lupa pakaian yang sedang ia gunakan.

"Ayolah, berhenti bersikap kekanakan begitu," tegur seseorang yang menghentikan aksi Vira. Pemuda itu berjalan merangkul Fery yang terlihat sangat bahagia saat mengganggu Vira. "Sudahkah kalian meresmikan hubungan kalian?"

"Tidak akan," jawab Vira spontan.

"Sudah pasti dong," kali ini jawaban Fery.

Arya yang menanyakan hal itu dan mendapati dua jawaban yang berbeda hanya bisa terkekeh. Ia merenung membayangkan jika tidak ada hadirnya kedua orang ini, mungkin ia sudah kehilangan kedua sahabatnya. Arya mengenang masa sulit mereka sebulan ini serta masa penuh duka sebelumnya. "Helda..,"

"Hm?" sahut Fery merasa Arya menyebut nama seseorang yang sudah meninggal.

"Helda itu.. aku menyayangkan kematiannya. Tapi di sisi lain, kupikir ini memang jalan terbaik. Ini semua sudah digariskan Tuhan," katanya menerawang. "Pengendalian kepribadian seperti itu sangat sulit. Dipenjara sekalipun, ia bisa bangun kembali dan beraksi lagi. Tidak akan ada habisnya. Aku bersyukur dia perempuan yang memiliki perasaan lebih baik dari laki-laki. Tinggal menyentilnya sedikit."

"Dia menangis," sahut Fery berusaha mengingat kejadian malam di Rumah Sakit Santa Mario sebulan lalu. "Apa yang kau lakukan padanya?"

"Mengajaknya bertanggungjawab atas kematian keempat teman kita. Bahkan saat menangis di dadaku, ia menggores kulitku berbentuk huruf H. Ia seperti berharap aku mengingatnya seumur hidupku. Oh! Luka ini jelas permanen," jelas Arya menunjuk dadanya. Ia meremas jas hitam itu erat. "Aku hargai usahanya menggores rapi dengan mulut di waktu yang sangat singkat itu."

Kedua laki-laki ini pun diam. Mereka kehilangan satu-satunya gadis diantara mereka yang telah berdiri cukup jauh untuk bicara dengan pihak sekolah.

"Kita kembali lagi. Nah, untuk menyambung pembacaan pemenang lomba, kita akan dihibur dulu oleh beberapa orang..," suara MC terdengar. Seorang gadis cantik bertubuh tinggi ramping berdiri di panggung yang dikenal Fery sebagai alumni sekolah ini yang kini berkarir di dunia jurnalistik sebagai pembawa acara televisi swasta nasional. Ia berkenan mengisi acara ini sebagai bentuk rasa terima kasih kepada sekolah. Pasangannya dalam membawakan acara adalah reporter nasional yang mengisi acara dengan alasan yang sama dengan gadis di sampingnya. Vira awalnya tidak suka jadi panitia, tapi ia sangat totalitas dalam mengerjakan tugasnya, terutama mencari pengisi acara. Fery mengaguminya.

"Mari kita saksikan penampilan perwakilan panitia..," MC wanita menatap MC pria lalu berucap bersamaan. "Fery Rustaman dan Selvira Indriani!"

"HAAH?!" Fery cengo, begitupun Vira. Sementara Arya hanya geli menahan tawa.

Berpikir cepat, Fery harus memutuskan lagu apa yang akan mereka lakukan. Lagu santai yang bisa mereka nyanyikan tanpa persiapan. Sebersit ide terlintas. Ia segera menarik Vira yang masih syok dan hendak mengamuk ke operator suara. "Putarkan instrumen A Whole New World."

Sebuah lagu yang terkenal ketika dibawa dalam cerita Aladin ketika dirinya dan Jasmine terbang menggunakan karpet terbang. Lagu yang sering mereka nyanyikan sewaktu kecil.

"Yang mengubah jadwal tanpa izinku, tunggu sampai acara selesai dan aku akan membuatmu babak belur!" omel Vira tanpa sadar melewati orang yang dimaksud. Yoga dan Septha hanya tertawa melihat ekspresi Vira.

Sementara kedua orang itu bernyanyi, Arya melihat dari jauh. Mengenang kedua orang yang sempat berselisih namun bisa memperbaiki hubungan kembali, bahkan menjadi sosok yang luar biasa dalam memecahkan kasus pembunuhan di sekolahnya. "Kalian berdua adalah kombinasi tampan, cantik, cerdas, pintar, dan berani. Seperti pasangan yang ditakdirkan lahir untuk saling melengkapi," pujinya pada pasangan yang terlihat mampu bernyanyi dengan sangat baik, walau tanpa persiapan sedikitpun.

Itulah mereka, Fery dan Vira.

-TAMAT-

IN Series 2: CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang