Chapter 8: Penjahat Luar Biasa

306 30 0
                                    

Perumahan sederhana di kawasan kepadatan penduduk sedang yang berada di tepian jalan raya ini cukup sepi karena jalan arteri yang menghubungkan bandara dan salah satu simpul kota ini hanya dilalui oleh kendaraan yang sudah ditentukan. Jalur bebas tronton, truk kasar, serta kegiatan perdagangan kaki lima membuat kawasan ini sunyi jika malam. Di dalam sebuah rumah diantaranya, seorang berpakaian polisi lengkap sedang bersandar di sofa sederhana milik sang empunya rumah. Wajahnya terlihat lelah, menggambarkan ia telah melalui hari penuh dengan aktivitas berat. Di hadapannya seorang gadis dewasa muda meletakkan seteko teh, segelas kopi, segelas teh hangat, dan cemilan ringan.

"Kau selalu menyediakan bermacam minuman untuk tamu," kata polisi muda cukup tampan ini kepada sang kekasih yang duduk di hadapannya sambil menuang teh es untuk dirinya.

"Itu karena kau jika kutanya 'mau minum apa' maka kau jawab 'apapun yang ada'. Di rumahku kehabisan sirup. Jangan tanya siapa yang menghabiskannya karena adikku tercinta belakangan ini sangat suka minuman manis."

Sang polisi tertawa mendengar celotehan kekasihnya. Ia masih polos seperti biasanya.

"Lalu," sang gadis melanjutkan sambil meminum teh esnya pada malam yang cukup panas ini. "Apa yang membuatmu ke sini? Kau kelelahan, seharusnya kau pulang ke rumahmu."

"Kau mengusirku. Padahal aku hendak mencurahkan masalahku belakangan ini."

"Tentang alasan kau begitu lelah. Karena pekerjaanmu yang semakin lama semakin berat saja padahal kau masih pemula. Masalah itu berhubungan dengan sekolah adikku. Apa aku salah, Dirpan?" tanya gadis bernama Sintia ini menganalisis kegundahan pria kesayangannya ini.

Dirpan tertawa lagi. "Tidak asyik punya kekasih yang pandai menganalisis sepertimu," katanya lalu menghentikan tawanya dan berubah serius. "Ini pertama kalinya aku ikut campur dalam kasus kriminal yang sulit dipecahkan. Walau kasus ini ditangani oleh atasanku dan aku hanya asistennya, tapi tetap saja aku merasa bertanggungjawab jika gagal menanganinya. Kasus pertama, diracuni. Anehnya gelas yang diberi racun hanya milik adikmu. Ketika diperiksa dan diinterogasi, tidak ada satupun wajah maupun hipotesis yang menujukkan pelaku salah seorang dari panitia yang hadir malam itu."

Sintia menikmati curahan hati Dirpan sambil meminum es teh. "Pada akhirnya, kepolisian tidak bisa menetapkan pelakunya adalah panitia tersebut karena tidak punya bukti nyata. Pelaku tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Aku sudah dengar hal itu," respon Sintia yang lebih suka jika Dirpan menceritakan kasus selanjutnya yang masih aneh didengarnya.

"Kasus kedua, seorang siswi tewas tertabrak truk karena motornya terhenti tiba-tiba. Stop kontak motor tiba-tiba membalik sendiri pada kecepatan tinggi menjadi mode off sehingga motor itu terhenti dan pengendara jatuh. Disambut truk, lalu ah! Ini pembunuhan tersadis yang direncanakan. Seandainya kau melihat rupa mayat yang lehernya hancur―"

"Tunggu dulu. Pembunuhan, katamu?" tanya Sintia memotong penjelasan Dirpan.

"Ya, siswi itu mengebut karena telepon palsu seseorang yang mengatakan ibunya kritis. Ia adalah seorang yang gampang panik."

"Lalu bagai―"

Pertanyaan Sintia terjeda oleh getar ponsel Dirpan yang sangat keras. Dekat dengan pemuda polisi itu membuatnya tahu jenis getaran dari ponsel tersebut. "Biar kutebak. Setelah ini kau akan terburu-buru kembali ke kantor karena panggilan atasan."

"Sayangnya kau salah. Aku akan tetap di sini jika atasan menyuruhku melakukan hal sepele seperti membantunya menangkap pencopet jalanan. Jika diminta menyelesaikan tugas yang sebenarnya bisa ia lakukan sendiri atau dilimpahkan pada bawahannya yang lain, aku tidak akan ikut," jawab Dirpan dan mengangkat panggilan tersebut.

IN Series 2: CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang