"Ayah, kita sudah berjalan jauh sekali. Kenapa rumah Ibu sejauh ini, sih?"
Aku mengacak rambutnya. Ayolah, nak, kita baru berjalan sepuluh meter saja sejak menuruni mobil.
"Nah, di rumah itu."Aku menunjuk sebuah rumah kayu yang didesain klasik dengan ukiran di beberapa bagian. Al melepaskan tanganku, dia berlari dengan kaki kecilnya menuju lima anak tangga yang menghubungkan jalanan dengan pagar kayu rumah itu.
"Kenapa Ibu tinggal jauh sekali dengan kita? Kata ayah dia di langit, tapi kenapa dia ada di rumah ini? Ibu itu bidadari ya?"
Aku tersenyum, berlutut didepannya lalu memegang kedua tangan kecilnya yang hangat. Kurasa ini sudah waktunya untuk mempertemukan Al dengan Ibu yang selalu dirindukannya.
"Ayo kita masuk."
Aku membuka pagar, menuntun tangannya dan memutari jalan setapak di pinggir rumah. Al terlihat bingung, dia pasti heran kenapa aku tidak membawanya masuk kedalam rumah.
Bocah laki-laki itu tidak berbicara sepatah kata pun saat aku membawanya ke sebuah pusara yang dikelilingi oleh tanaman mawar. Ia jongkok ditepian makam Haera, melihat sebuah figura yang tertempel di pohon ex yang berusia sama dengannya.
"Itu Ibu," Ucapannya terbata, Al menangis tanpa suara. Sudah kubilang, anak laki-laki itu terlalu dewasa sebelum waktunya. Ia mudah sekali memahami situasi.
Aku memeluknya dari samping, menatap langit untuk mencegah jatuhnya air dari mataku. "Kau senang karena bertemu Ibu?"
Dia mengangguk, tangannya menyentuh kaca figura yang berdebu. Menghapuskan tumpukan debu disana hingga foto Haera terlihat jelas. Itu adalah foto yang kuambil saat usia kandungannya 25 minggu, hanya itu satu-satunya foto keluarga yang aku punya.
"Ibu cantik sekali." katanya, "Ayah juga tampan." ia tambah memujiku.
Aku tersenyum, mengusap punggungnya dan memberikan seulas senyum hangat kepada Al. "Kau ingin berdua bersama Ibu? Ayah akan menunggumu disana."
Al mengangguk, aku bangkit dan berjalan menuju sebuah ayunan berkarat yang berjarak tiga meter dari makam Haera. Anakku itu kuat sekali, dia sudah berhenti menangis, tangan kecilnya menyentuh pusara Haera.
"Ibu, terimakasih karena sudah memberiku ayah setampan Ayah Mingyu." hatiku perih sekali mendengar ucapannya,
"Ayah bilang Ibu ada di langit, ternyata Ibu di surga ya? Aku sudah menebaknya, karena kalau Ibu masih hidup, Ibu pasti akan menemuiku." Benar, aku memang membodohi bocah cerdas itu karena setiap ia menanyakan tentang Haera, lidahku kelu sekali.
"Ibu, Aku iri sekali pada Minji yang selalu dipeluk bibi Minseo. Aku juga ingin dipeluk oleh Ibu." dia memetik bunga mawar merah yang belum mekar dan menyimpannya diatas pusara Haera.
"Ibu, aku mau pulang. Ayah harus kerja, lain kali aku akan kembali kesini dengan satu buket mawar merah yang banyak dan wangi."
Aku mengusap setetes air mata yang meluncur ke pipiku. Berjalan menghampiri Al dan menyuruh bocah itu untuk berdiri dan memberikan Haera penghormatan.
"Anak kita lucu sekali, 'kan? Aku sangat merindukanmu." aku mengusap pusara Haera untuk kali terakhir, setelah itu berdiri lalu memberikan Haera penghormatan. Aku membawa Al pergi dari Villa-ku dan meninggalkan Haera sendirian di peraduan terakhirnya.
Langkah Al berat sekali, ia mematung didepan pagar Villa dengan tatapan sedih. "Ayah, kenapa Ibu meninggal? Apa itu karena aku?"
Aku mengangkat tubuhnya dan membawanya dalam gendonganku. Aku mencium pipinya yang masih basah, "Tidak. Ibu pergi karena tuhan merindukan Ibu."
Al tersenyum, dia menatap bola mataku yang hitam. "Ayah jangan sedih, ya. Ayo kita cari Ibu baru."
Mataku membulat, aku menjitak keningnya dengan gemas. "Nanti Ibumu dengar!" aku berbisik di telinganya sambil berjalan menuju mobil.
Al tertawa, "Memangnya ayah mau mencari Ibu baru untukku?" dia menyibak rambutku kebelakang hingga keningku terekspos jelas. Kegiatan favorit Haera saat ia hamil dulu menurun kepada Al.
"Tidak. Kita tidak membutuhkan Ibu, ayah akan menjadi Ibu untukmu." Aku mendudukkan Al di kursi belakang mobil dengan dudukan khusus. Memasangkan sabuk pengaman di tubuhnya lalu menutup pintu.
"Memangnya kau mau Ibu?" aku bertanya setelah duduk dibelakang kemudi. Menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobilku. Aku melihat Al sekilas dari kaca dashboard, ia terlihat bingung dengan tangan yang ia ketukkan pada bibir bawahnya.
"Tidak mau. Meskipun aku tidak pernah bertemu Ibu, tapi aku menyayangi Ibu dan tidak ingin menggantinya dengan Ibu manapun. Dia cantik, dan juga dia adalah Ibu hebat yang telah melahirkanku."
Aku tertawa, darimana ia bisa merangkai kata-kata sebagus itu? Aku membelokkan mobilku ke kanan di pertigaan, mengambil arah menuju resort-ku.
"Benar. Ayo kita hidup bahagia berdua saja. Al dan Ayah."
Al berteriak senang, sepanjang perjalanan menuju resort, bocah laki-laki itu terus bernyanyi dan bercerita tentang film yang ditontonnya kemarin sore saat aku bekerja. Aku menanggapinya dengan serius, sesekali ikut hanyut kedalam khayalannya.
Aku tidak membutuhkan istri baru, tidak ada yang bisa menggantikan Haera di hidupku. Al, ayah adalah Ibumu. Kau tidak butuh seorang Ibu, ayah akan menyayangi dan menjagamu lebih dari siapapun di dunia ini.
❄❄❄
KAMU SEDANG MEMBACA
A W A Y [KMG]
Fanfiction"He doesn't love me, he loves him." I answered. "Him?" Then I smiled, "Yes, him. he is the guy who standing in front of you now." Warn: The story contain with a MATURE part. Please be careful when you read this (17+) ©
![A W A Y [KMG]](https://img.wattpad.com/cover/125519081-64-k771749.jpg)