SO - BAB 3

35K 2.6K 49
                                    

Enjoy! Semoga suka.

Jangan lupa support dengan vote dan komentar :D

Semua?

Diana mengerjap beberapa kali untuk mencerna kembali apa yang pria ini baru saja katakan. Ia bahkan yakin matanya membulat dan mulutnya terbuka cukup lama sebelum ia sadar bahwa pria itu masih mengamatinya.

"A-apa?" Diana akhirnya menemukan suaranya. "S-semuanya, Tuan?"

Apakah ini mimpi? Jika ini mimpi, maka mimpi indahnya tak pernah sehebat ini. Untuk pertama kali dalam hidupnya, seseorang memborong seluruh kue-kuenya? Kue-kue biasa ini. Kue-kue yang menjadi jatuh bangun dirinya akan dibeli semuanya?

Pria di depannya tersenyum sekilas, nyaris tak terlihat. Ketika ia mengangguk, Diana harus menahan diri untuk tidak melonjak kegirangan. "Kue buatanmu enak sekali. Aku ingin membeli semuanya untuk karyawanku."

Dia bilang, enak. Hanya segelintir orang yang mengatai kue buatan Diana seperti itu. Tentu saja, dari sini Diana bisa menyimpulkan pria di depannya ini bukan pria sembarangan. Setelannya terlihat necis dan mahal. Rambut pria itu pirang dan tertata sangat rapi. Bahkan dari raut wajahnya pun menyiratkan ketegasan yang tak bisa dibantah. Pria ini pasti punya jabatan superior. Belum lagi, secara terang-terangan bahwa pria ini mengatakan bahwa ia punya karyawan. Ini semakin menguatkan dugaan Diana.

"Jadi... berapa total semuanya?" tanya pria itu.

Diana mengerjap karena bingung hendak berbuat apa. Apa yang dilakukannya ketika seseorang memborong kue-kuenya. "Kau... yakin membeli semua ini? Semua jenis kue ini?"

Pria itu mengangguk mantap. Ia mengeluarkan dompet dari celana kainnya yang terlihat mahal dan menyodorkan kartu pada Diana. "Apakah kau menerima kartu kredit?"

"Uh..." Diana menggigit bibirnya karena merasa tak enak hati. Ia menggeleng perlahan. "Maaf, Tuan. Bisakah Anda membayar tunai saja? Toko ini tidak menyediakan transaksi non tunai."

"Oh..." Pria itu mengangguk. "Jadi berapa harga untuk semua jenis kue yang ada di sini?"

"Kau tak ingin menghitung jumlahnya terlebih dahulu?"

Pria itu tersenyum segaris. Lalu menggeleng. "Aku hanya ingin... semuanya."

Diana membeku mengamati mata gelap itu. Entah bagaimana mata itu terlalu tajam bagi Diana karena ia tak pernah ditatap seperti itu. Diana tak tahu apakah pria ini berusaha menilainya atau apa, tapi yang jelas, banyak makna yang tersirat di manik mata itu.

"A-aku... masih punya kue-kue hangat di dalam oven," Diana berusaha berucap supaya pria ini tidak mengendus kegugupannya ketika ditatap seperti itu. "Mungkin aku harus tahu jumlah karyawanmu untuk membagi per jenisnya?"

Pria itu menggeleng lagi. "Kau tak perlu membaginya. Aku yang akan melakukan itu. Aku akan mengambil semuanya termasuk yang masih berada dalam oven. Berapa menit lagi kue itu matang?"

Diana mengerjap dan berusaha mengalihkan matanya, yang sedaritadi hanya terpaku pada pria itu, ke jam di dinding. "Sekitar lima belas menit lagi."

Pria itu mengangguk dan kembali merogoh dompetnya. "Ini kartu namaku. Aku berada di gedung itu," kata pria itu seraya menunjuk gedung pencakar langit yang menjulang di depan toko mungil Diana. "Katakan pada respsionis bahwa kau ingin menemuiku. Namaku ada di kartu nama itu."

Ryan J. Archer

Diana membaca kartu itu dengan seksama. Nama itu tertera pada kartu berwarna gelap. Dirangkai elegan dengan warna keemasan. Diana bahkan bisa mencium harum maskulin dari kartu tersebut. Astaga, kartu itu pasti berharga lebih dari uang makan Diana sehari-harinya.

Surrender of ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang