SO - BAB 6

29.3K 2.2K 18
                                    

Enjoy! Jangan lupa vote dan komentar :3

Pindah? Yang benar saja!

Pikiran Ryan berhenti di sana. Ia tidak berpikir ke arah manapun sementara dirinya membayangkan bagaimana jika ia tak lagi bisa menemui Diana, atau bagaimana ia akan menentukan pilihan menu sarapan, atau, yang terpenting, bagaimana nasib Diana selanjutnya?

Benar. Sial. Mengapa Ryan tak memikirkan itu? Mengapa ia tak menanyakan itu pada Diana sebelum ia memutuskan untuk bersikap seperti Ryan Archer yang diberi kedok oleh Salendra, lalu meninggalkan toko itu dengan pertanyaan menjarah seperti ini? Bodohnya Ryan yang hanya bicara sekenanya setelah Diana membagi cerita itu. Ryan tetap dingin, kaku, dan tidak berkarisma.

Ryan lupa bagaimana caranya bersikap manis pada seseorang.

Tapi...

Mengapa ia perlu bersikap manis pada seseorang?!

Dan seorang wanita?!

Ini aneh. Ryan tidak pernah merasakan ketertarikan ini selama tiga puluh satu tahun hidupnya. Apa yang Ryan miliki di masa lalu bersama Diana Reese tidak bisa dianggap setara dengan ini. Itu hanya cinta monyet dan Ryan bersumpah telah melupakan cinta pertamanya. Ryan tak lagi peduli dengan apa yang mungkin terjadi dengan Diana Reese di masa depan. Tetapi Ryan tak mengerti bagaimana Diana Si Pembuat Roti menyita sebagian besar waktunya.

"Astaga! Ryan!" pekikan itu membuat Ryan tersentak. Seorang wanita di akhir usia empat puluhan tengah mengenakan blus cantik bermotif bunga, sementara rambutnya tergelung rapi seperti biasanya; tiba-tiba saja memasuki ruangan yang telah Ryan diami selama kurang lebih tiga puluh menit. Delia Salendra, ibu tiri Ryan, memang terlihat memukau setiap harinya. "Berhentilah melakukan itu!" gerutunya.

Ryan tak tahu sebenarnya siapa yang lebih terkejut. Namun ia tak menanggapi itu lebih lanjut. Ia justru bangkit dan memberi ciuman pipi singkat untuk ibunya. "Bagaimana kabarmu, Delia?"

Delia mendengus sebal. Sepertinya wanita itu belum mau melupakan masalah sepuluh detik yang lalu. "Aku serius. Berhentilah melakukan itu. Setiap kali kau ke sini, kau akan masuk diam-diam dan duduk di ruang tamu sampai seseorang menyadari keberadaanmu. Astaga! Kau bisa membuatku terkena serangan jantung! Itu juga pengaruh buruk untuk adik-adikmu karena mereka akan menghabiskan akhir pekan mereka hanya berdiam di ruang tamu untuk menunggumu datang."

Setelah Delia terdiam dari ocehan panjangnya, barulah Ryan menanggapi. "Maaf."

Delia menghela napas setiap kali menghadapi Ryan yang irit bicara. Delia melangkahkan kakinya ke dalam rumah, diikuti Ryan. "Anak-anak sedang bermain di halaman belakang. Aku dan Adrian berhasil meyakinkan mereka sehingga mereka beranjak dari ruang tamu. Tapi sebelumnya, Papamu punya hal penting yang ingin ia bicarakan."

Ryan mengernyit. "Sejak kapan Adrian jadi berbelit begitu? Ia biasanya langsung mengatakan segalanya di telepon."

Delia mengendikkan bahu dan pertanyaan Ryan terjawab dengan seseorang yang baru keluar dari sebuah ruangan yang Ryan ketahui adalah ruang kerja seorang Adrian Salendra. Pria dengan wajah mirip Ryan itu terlihat segar dengan kemeja yang lengannya tergulung dan celana jins. Rambutnya yang hitam cepak telah sedikit ditumbuhi uban. Meski begitu, pesona seorang Salendra memang tak lekang termakan usia.

"Ryan!" seru pria itu. Ia memberi pelukan singkat dan dibalas Ryan. Ia menarik kursi makan dan Ryan tahu bahwa Delia serius dengan ucapannya. "Kantormu sedang sibuk?"

Ryan mengendikkan bahu. "Pasang surut. Ini titik berat."

Adrian mengangguk mengerti. Tentu mereka akan sejalan dengan topik ini. Meski Ryan enggan mengakui, sebelum ia memegang Salendra Group, Adrian telah mengajarinya banyak hal. Ryan pun tidak sepenuhnya menjadi penurut saat bersama Adrian, lalu meniru segala teori yang Adrian bagikan. Tentu saja Ryan memang diciptakan untuk membantah Adrian. Namun Ryan menganggap itu semua sebagai improvisasi.

"Ada apa?" tanya Ryan kemudian. "Delia bilang, kau ingin membicarakan sesuatu."

Adrian mengangguk pelan dan Ryan pun bisa melihat raut yang tersirat di wajah Adrian. "Aku sudah pasti tahu bagaimana responmu ketika mendengar ini, tapi kau harus tahu bahwa aku sedang berusaha sebisaku."

Ryan menatap ayahnya.

"Kakekmu, Satya dalam masalah. Aku baru saja mendapat kabar dari ibu bahwa kesehatannya mulai menurun drastis. Ia dirawat di rumah sakit, sekarang. Aku bersumpah aku berusaha untuk mengabaikannya seperti yang kita lakukan selama ini, tapi ibu memohon padaku supaya mengatakan ini padamu karena Satya sudah lelah hingga rasanya mau mati ketika menghubungimu tanpa hasil." Adrian terdiam sejenak untuk menilai Ryan. Seperti biasanya, Ryan hanya memasang wajah keras. "Entah bagaimana aku juga ikut mengkhawatirkannya."

"Lalu?"

"Kakekmu sangat ingin menemuimu."

Ryan membuat suara muak. "Aku tak yakin, Adrian. Aku bahkan tak peduli jika ia mati sekarang sekalipun. Segala sumber masalahku bisa selesai. Dia mati, aku bebas, aku akan kembali ke Amerika."

"Cobalah dulu," sahut Delia. Wanita itu duduk di samping Adrian seraya memberi dukungan untuk suaminya. Ryan tidak bisa berdusta bahwa mereka memang serasi. "Tak ada salahnya menemui kakekmu meski hanya beberapa menit. Ini sudah belasan tahun untukmu dan lebih lama lagi bagi Adrian."

Ryan dan Adrian benar-benar berada dalam gen yang sama. Mereka sama-sama mempunyai kekerasan prinsip untuk membantah Satya Salendra, namun Ryan memiliki jalannya sendiri untuk membantah seseorang yang telah memaksanya menduduki tangga kuasa Salendra Group.

Adrian mungkin dengan mudah melarikan diri, namun Ryan cukup mengerti bahwa ada harga yang harus dibayar ketika ia lari dari tanggungan hidupnya. Dan di sanalah Ryan sekarang, terkungkung di dalam dinasti Salendra yang merajai perekonomian. Meninggalkan kehidupannya yang bebas dan sesuai kehendaknya. Menuruti semua skenario yang selama ini Satya Salendra buat. Ryan telah bertahan selama belasan tahun untuk itu dan ia tak mau diatur hanya untuk menemui si tua bangka keparat itu di ranjang rumah sakit.

"Aku akan di sana besok. Kita bisa datang bersama jika kau tidak ingin pergi sendiri," tawar Adrian.

Ryan mendesah. "Aku tak yakin."

"Itu hanya membuktikan bahwa kau tidak sanggup memenuhi tantangannya," ujar Delia. "Kau takut bertemu dengannya."

"Jangan menyeramahiku, Delia!" tukas Ryan. "Aku tak melakukan itu karena aku bisa bertindak sesuai keinginanku."

"Aku tak heran," cibir Delia. "Kau kan Ryan Archer. Siapa yang tidak mengenalmu? Pemegang kekuasaan Salendra Group. Namamu terkenal di bidang ini. Aku menantikan ketika kau menggunakan kekuasaanmu untuk bersikap seperti Satya Salendra. Aku bahkan tak perlu bertaruh untuk itu."

"Sial, Delia!" geram Ryan. Ia bangkit dari tempat dan berjalan mondar-mandir, sementara dua pasang mata di hadapannya mengamati. "Aku tak mau disamakan dengan orang itu!"

Delia menghela napas. "Tapi kau sudah keluar terlalu jauh dari batasmu. Aku tak menyalahkan apa yang terjadi saat ini, tapi kau harus tetap menjadi dirimu sendiri."

Ryan menangkup wajahnya frustasi. Harusnya ia ingat bahwa Delia adalah seorang psikiater dan dengan mudah menilai seseorang. Tapi Ryan bukan pasiennya dan Ryan tak mau diteliti seperti itu.

"Sudahlah," ujar Adrian. "Aku mengerti jika Ryan memang tak ingin bertemu dengan kakeknya."

Delia menggeleng dan menatap Adrian penuh arti. Namun suami Delia itu membalas dengan gelengan seolah menyela keinginan Delia. Hanya Ryan yang tak mengerti dengan apa yang keduanya pikirkan.

"Tawaranku tetap berlaku." Adrian tersenyum. "Hubungi aku jika kau berubah pikiran."

"Aku bukan tipe pria yang plin-plan," kata Ryan tegas.

"Terserah," cibir Delia. Ia bangkit dari tempatnya dan menatap sebal pada Ryan. Ryan pikir, itu karena Delia tak bisa lagi mendebat putra tirinya maupun suaminya. "Kau benar-benar jiplakan Adrian Salendra. Apakah kau benar-benar tidak ingin mengubah nama belakangmu menjadi Salendra? Sayang sekali, kalian sangat mirip dari sisi manapun. Pria-pria keras kepala dan kekanakan bahkan di usia kalian sekarang." Dengan itu Delia bangkit dan meninggalkan dua pria yang melongo.

"Itu... pertanda buruk, kan?" tanya Ryan pada Adrian.

Adrian mendesah seraya mengangguk lesu. "Sangat-sangat buruk. Aku perlu susah payah malam ini."[]

Surrender of ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang