Makan malam keluarga? Oh, hebat. Harusnya Ryan memberi Diana waktu selambat-lambatnya seminggu supaya Diana bisa bersiap dengan gaun atau sesuatu yang mungkin membuatnya pantas untuk bertemu dengan keluarga Salendra. Tapi pria yang resmi melamarnya semalam hanya memberi tiga puluh menit untuk Diana bersiap.
Tiga puluh menit!
Diana mungkin bisa melakukan sesuatu dengan lulur atau berendam supaya tubuhnya lebih wangi. Yang jelas, semua itu tidak bisa dilakukan dalam tiga puluh menit.
Diana bersyukur Ryan pernah membelikannya gaun. Itu satu-satunya gaun keren yang Diana miliki. Diana berharap Ryan tidak bosan menatapnya dengan gaun ini. Sekarang, Diana harus melakukan sesuatu dengan wajahnya.
Astaga, bagaimana mungkin selama ini Diana tidak punya peralatan rias?!
Pintu terketuk keras setelah Diana tercenung menatap bayang diri selama sepuluh menit penuh karena tak tahu harus melakukan apa pada dirinya sendiri. Diana merapikan rambutnya dan mengikat ke belakang. Memulas sedikit pewarna ke bibirnya. Semoga Ryan yang menunggunya baik-baik saja dengan penampilan Diana saat ini.
"Tunggu sebentar!" seru Diana untuk orang di balik pintu. Namun ketika membuka pintu, ia tak menyangka bahwa Emily lah yang menunggunya membuka pintu. Diana terkejut, sudah jelas. Tapi melihat penampilan Emily, Diana tak tahu apakah harus bersyukur atau merasa iri. "Hai, Emily! Ryan juga bilang kau akan ikut."
Emily mengenakan gaun hitam sederhana. Roknya jatuh hingga ke lututnya. Tak ada riasan mencolok ala punk. Meski tindik Emily masih ada di tempatnya, tapi Emily terlihat cantik dengan jepit mutiara yang bertengger di kepalanya.
"Hai, Diana." Emily tersenyum santai. "Bagaimana mungkin kita terlihat berkebalikan? Kau terlihat seperti datang ke pernikahan, sedangkan aku seperti akan datang ke pemakaman."
Diana tertawa seraya membuka pintu lebih lebar. "Kau cantik sekali, Emily! Kau harus sering-sering menggunakan gaun."
"Aku lebih memilih menelan serangga daripada melakukan itu setiap harinya. Omong-omong, kau juga keren."
"Apakah Ryan sudah bersiap?" tanya Diana. "Mau minum sesuatu?"
Emily menggeleng. Ia mengangkat tangannya yang sedang membawa sebuah kotak. "Aku ke sini untuk ini. Aku mungkin punya beberapa warna natural yang manis untuk melengkapi penampilanmu."
"Apa itu?"
"Kosmetik. Aku akan meriasmu."
Keren! Batin Diana melonjak girang. Ia bersyukur Emily di sini. "Apakah Ryan yang menyuruhmu ke sini?"
Emily menggeleng. "Dia bertaruh, gaun apa yang kau kenakan malam ini. Dia berkata putih. Dia bilang kau cantik dengan warna putih―aku tak akan melanjutkan bagaimana dia mendeskripsikan aromamu karena kakakku terlihat seperti akan berlari padamu ketika bercerita. Dan, ya, aku datang untuk memastikan. Ternyata benar. Tapi aku berpikir lain. Jangan tersinggung, ya. Aku yakin Ryan memang lebih suka wanita yang biasa-biasa saja. Menurutnya, kau itu istimewa. Kupikir kau tidak punya gaun, yang kemungkinan besar juga tak punya kosmetik―itulah definisi istimewa menurut Ryan. Jadi, aku ke sini untuk menyelamatkanmu."
Meski sebenarnya malu, namun Diana tak keberatan Emily mengatainya begitu. Diana tersenyum lebar dan menarik Emily masuk.
"Terima kasih sudah menjadi penyelamatku. Kau dan Ryan ternyata sama-sama malaikat."
"Aku malaikat, ya. Kakakku, bukan. Dia jahat. Dia baru saja menyuruhku membersihkan apartemennya." Emily duduk di sofa dan menarik Diana mengikutinya. "Nah, tenang di sini."
"Apakah... kau sering bertemu dengan keluarga Salendra?" tanya Diana. Emily sibuk mengeluarkan kosmetiknya dari kotak dan mencocokkan warnanya dengan kulit Diana. "Hei, kau punya banyak warna."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Obsession
Roman d'amourSURRENDER SERIES #3 √ Completed √ ~ Setelah bertahun-tahun Ryan mempertahankan topengnya sebagai sosok yang dingin dan tak acuh, mendadak seluruh dunianya dijungkirbalikkan oleh Diana yang sanggup menghubungkan Ryan dengan masa lalunya. Rasa penasar...