Diana menatap punggung Ryan hingga ruangan itu tertutup dan melenyapkan sosok Ryan. Lantai ini terasa sangat sepi dan entah bagaimana Diana baru menyadarinya. Diana tak mengerti mengapa Ryan membuat satu lantai penuh hanya untuk ruangannya. Meja Sarah kosong dan kemungkinan besar wanita yang selalu sopan pada Diana itu sedang mengikuti Ryan.
Diana meletakkan kotak-kotak makanannya di meja, lalu menjauh dari aroma menggiurkan itu. Diana mulai tidak sabar untuk mencomot apapun yang ada di dalam sana karena makan mulai menjadi kebiasaannya sejak hamil. Ia bahkan merasa lapar tanpa tahu waktu. Terkadang, ia terjaga saat dini hari dan mencari-cari makanan di dapur. Untung saja stoples kue keringnya selalu penuh dan Diana hampir tidak menolak macam-macam makanan.
Tapi tentu saja Diana akan menahan diri untuk kali ini. Ia setia menunggu Ryan. Ia akan menyajikan masakan ini spesial untuk suaminya. Jadi ia akan menunggu Ryan sebelum mencomot apapun yang telah ia masak sejak pagi.
Diana mengernyit melihat kertas bertebaran di lantai. Ia tak mengerti mengapa dokumen-dokumen ini tergeletak. Setahu Diana, Ryan adalah penggemar kebersihan. Lihat saja, meja kerja pria itu saja bersih. Tapi bagaimana mungkin lantainya dipenuhi dokumen?
Dilihat dari ketegangan Ryan saat berbicara dengan Diana, apalagi dengan Deanita, Diana tahu ada yang salah di sini. Tapi Ryan tidak mau membaginya. Diana hanya bisa diam―tapi mungkin untuk saat ini saja. Setelah ini ia akan mendorong Ryan untuk bercerita.
Dan sepupu Ryan itu masih saja tidak terlihat menyukainya. Jika Diana tidak berhalusinasi, maka benar Deanita mendorong pelan bahu Diana saat melewatinya.
Memangnya apa masalah Deanita pada Diana?
Wanita itu jelas lebih cerdas, cantik, dan penuh percaya diri dibanding Diana. Deanita juga lebih tinggi dan lebih luwes saat mengenakan hak tinggi. Kakinya jelas indah. Sementara Diana, kakinya mulai seperti gajah sejak hamil.
Bahkan sekarang ini kakinya mudah lelah. Ia lebih suka membuat kue sambil duduk. Diana bahkan sudah tidak lagi menyetor kue. Diana tidak pernah lebih mensyukuri betapa ia punya apartemen yang punya lift, atau apartemennya yang kecil sehingga tidak perlu repot membersihkan ruang yang luas.
Diana mengenyakkan tubuhnya di sofa. Ia mengangkat kaki dan berbaring di sofa. Berapa lama sampai urusan Ryan selesai? Sekarang Diana mulai merasa mengantuk karena biasanya ia tidur siang. Dan berada sendirian di lantai ini membuatnya semakin mengantuk.
Mungkin ia akan tidur sebentar sambil menunggu Ryan?
Benar. Itu mungkin bisa saja dilakukan jika bunyi nyaring itu tidak mengusik Diana. Merasa heran, Diana pergi keluar ruangan untuk memastikan. Ada bau gosong dan asap memenuhi udara. Diana menelusuri arah asap itu berasal dan ia berhenti pada sebuah pintu yang selanya mengepulkan asap pekat.
Kepanikan pun menguasai Diana. Ia menutup hidung dengan kerah blusnya dan membuka pintu mengepul itu. Diana tersentak saat setengah ruang dapur telah dilalap pagi dan bau gas menyengat terhirup olehnya.
Astaga... apa yang harus ia lakukan?
Ia harus lari―tidak, ia tidak boleh berlarian. Ia harus menyelamatkan kantor Ryan―ya, sebelum api ini membesar. Ia hanya harus mencari alat pemadamnya.
"Oke, alat pemadam," ujar Diana pada diri sendiri. Ia mencari-cari tabung pemadam di sepanjang lantai. Tabung terdekat berada di lift dan terlindung kaca yang terkunci. "Sialan." Diana harus memecahkan kacanya dengan sesuatu.
Diana berusaha sebisa mungkin untuk tidak panik, meski napasnya terengah-engah karena banyak asap. Ia mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memecah kaca. Ia menyambar asbak di meja kerja Sarah dan melemparnya hingga kaca itu pecah berkeping-keping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Obsession
RomanceSURRENDER SERIES #3 √ Completed √ ~ Setelah bertahun-tahun Ryan mempertahankan topengnya sebagai sosok yang dingin dan tak acuh, mendadak seluruh dunianya dijungkirbalikkan oleh Diana yang sanggup menghubungkan Ryan dengan masa lalunya. Rasa penasar...