Jangan lupa support cerita ini dengan vote dan komentar :p
"Apa yang kau masak?" tanya Ryan.
"Panekuk."
Ryan mengerang. "Sial. Ini sudah ketiga kalinya dalam minggu ini kau memasak makanan itu."
Diana tertawa dan hati Ryan menghangat. Tawa itu selalu punya efek khusus untuknya. "Aku mungkin tak akan memasak panekuk lagi minggu besok."
"Jangan," cegah Ryan. "Tetap masak makanan itu. Aku suka panekukmu sebagai menu sarapan."
"Ada seseorang yang berkomentar bahwa panekuk buatanku terlalu manis."
Ryan tertawa mendengar sindiran Diana. Wanita itu sering kali bertanya pendapat Ryan tentang masakannya. Ryan tidak bisa memungkiri bahwa masakan Diana selalu lezat di lidahnya. Meski begitu Diana tak pernah percaya dengan pujian Ryan. Wanita itu memaksa Ryan supaya memberikan kritik. Jadi ketika Ryan memakan panekuk buatan Diana, Ryan asal bicara dengan berkomentar bahwa makanan itu terlalu manis.
Tapi mereka berdua pun tahu, Diana tak akan pernah mengubah resep ayahnya.
"Panekukmu memang terlalu manis. Tapi itu fantastis. Menu yang manis. Pembuat kue yang manis. Semua itu membuat pagi hariku menjadi manis."
Diana tertawa lagi. "Nah, kepergianmu kali ini membuatmu semakin pintar mengumbar kalimat tidak penting, ya?"
"Kenapa protes? Kau menyukainya," goda Ryan. Ia membayangkan wajah Diana yang mungkin merona di seberang sana hingga Ryan tak tahan lagi untuk menciumnya.
Tapi sial, kenapa Ryan harus terpisah ribuan kilometer jauhnya dengan wanita itu?
Jika bukan karena rapat bersama investornya, Ryan mungkin sedang di sofa sambil menikmati masakan Diana, berbincang tentang hal-hal menarik yang terjadi kemarin. Sekarang Ryan justru sedang duduk di teras hotel yang sudah beberapa hari menjadi tempatnya menginap, seraya menunggu Deanita yang berenang.
Astaga! Kenapa Ryan perlu menonton wanita itu berenang? Deanita hanya bisa membuang waktunya saja. Ia turun ke sini karena Deanita yang memintanya begitu, tapi wanita itu benar-benar sedang menguji kesabarannya. Beruntung Diana meneleponnya pagi ini, sehingga suasana hati Ryan menjadi sedikit lebih baik.
Dasar sepupu sialan.
"Ryan?" panggil Diana di seberang sana.
"Ya?"
"Di mana mentegamu?"
"Uh..." Ryan berpikir sejenak. Ryan tidak ingat jika ia punya mentega. Jika diingat-ingat lagi, selama beberapa bulan ini memang Diana yang selalu berbelanja karena wanita itu bersedia memasak untuknya. Jadilah Diana selalu memasak di apartemen Ryan daripada apartemennya sendiri. "Mana kutahu. Aku tidak pernah meletakkan mentega."
"Mentega yang biasa kuletakkan di bar dapur habis," gerutu Diana.
"Berarti memang menteganya habis."
"Astaga! Apa jadinya panekuk tanpa mentega?!"
Ryan melihat Deanita yang muncul dari air dan segera naik ke tepian. Wanita itu tersenyum pada Ryan, namun Ryan memasang wajah keras tak bersahabat. Ketika Deanita mengalihkan pandangan untuk mengenakan handuknya, Ryan berusaha mengakhiri panggilan Diana supaya Deanita tidak ikut campur dengan urusannya.
Ryan berdeham supaya Diana menghentikan kalimatnya tentang buku-buku Ryan yang tengah Diana baca. Meski Ryan ingin mendengarnya, tapi untuk saat ini, Ryan tak mau Deanita tahu banyak tentang wanita yang sedang dekat dengannya. "Uh, Diana. Aku harus menutup teleponnya. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Sampai jumpa. Aku merindukanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Obsession
RomantizmSURRENDER SERIES #3 √ Completed √ ~ Setelah bertahun-tahun Ryan mempertahankan topengnya sebagai sosok yang dingin dan tak acuh, mendadak seluruh dunianya dijungkirbalikkan oleh Diana yang sanggup menghubungkan Ryan dengan masa lalunya. Rasa penasar...