Jangan lupa support dengan vote dan komentar :D
Semoga suka :) :)
Diana tidak menyetujui bulan madu dalam waktu dekat. Terlalu banyak yang ia dan Ryan tinggalkan selama mengurus persiapan pernikahan, sehingga menurut Diana, bulan madu bisa ditunda untuk sementara waktu.
"Aku bisa mengatasinya setelah kita pulang bulan madu," ujar Ryan mengukuhkan pendiriannya untuk melakukan bulan madu setelah lima hari mereka menikah.
"Ryan, kau pasti punya banyak pertemuan yang harus kautangani. Kau sudah meninggalkan semua itu selama sebulan penuh. Bulan madu sama sekali bukan prioritas untuk saat ini. Lagipula, apa yang kauharapkan dari bulan madu?"
Ryan bersidekap dan memandang Diana. "Sayang, aku bosnya. Sarah bisa mengurus itu untukku. Ia bisa menjadwal ulang. Deanita bisa menggantikanku untuk sementara dan Sarah akan melaporkan segalanya padaku. Aku bahkan bisa membawa pekerjaan itu ke pesawat. Semuanya akan baik-baik saja. Suasana santai mungkin adalah yang kaubutuhkan untuk... uh... menjernihkan pikiran?"
"Benar." Diana mengangguk skeptis. "Supaya aku bisa terbawa suasana dan tidak lagi bisa melarikan diri untuk itu―seks. Tidak. Aku masih ngeri membayangkan nyerinya."
Ryan mengerang. Tentu saja Diana tahu kebutuhan pria itu sedang meledak-ledak. Tapi, astaga, Diana merinding jika diingatkan dengan pagi pertamanya. Ia butuh segenap tenaga untuk memanggang kue, mengantarkannya untuk disetor dan dijual. Diana bisa kehilangan bisnisnya jika harus mangkir lebih lama.
"Tidakkah kau melihat bahwa pemilik toko yang kuundang sengaja datang ke acara penikahan kita hanya untuk mengingatkan tentang jumlah pesanan? Aku juga tidak bisa lama-lama menjauh dari oven."
"Bagaimana jika kujanjikan tempat bulan madu yang punya oven? Kau bisa memanggang apapun di sana."
Diana memutar matanya. "Jangan merayuku, oke? Pergilah bekerja."
Ryan akhirnya mengalah, tapi Diana tahu Ryan akan berusaha lagi. Suaminya itu tak bisa mengelak. Ia memang punya banyak pekerjaan. Setelah cuti pasca menikah yang ia ambil, Ryan selalu pulang lambat dan wajahnya terlihat lelah. Diana mungkin setuju bahwa Ryan butuh sesuatu untuk menenangkan diri, liburan terdengar bagus untuk keduanya. Tetapi setelah Ryan kembali ke kantor, Ryan bahkan tidak bisa jauh dari laptopnya. Diana bersumpah ponsel Ryan berdering setiap setengah jam. Ryan membicarakan bisnis yang tak Diana mengerti. Ryan jelas punya banyak pekerjaan yang harus ditangani. Diana bisa mengalah untuk itu.
Sementara itu ganjalan di hati Diana perlu ditangani. Ia ingat di hari pernikahannya bahwa orang-orang menanyakan keluarga sang mempelai wanita. Bahkan Derian, paman Ryan, terang-terangan menanyakan asal-usul Diana secara langsung. Diana hanya menjawab sekenanya ketika ditanya―orang tuanya sudah meninggal, itu sudah jelas, dan bukan suatu kebohongan. Kebanyakan orang hanya menilai Diana di belakang Ryan, tapi Diana cukup bisa membawa diri untuk tidak memedulikan mereka. Orang-orang juga berpikir bahwa keluarga Archer atau Lazuardy, yang terlihat akrab pada Diana, adalah keluarga Diana. Diana tak menyanggah, toh mereka juga bagian dari hidup Diana sekarang ini.
Tetapi Diana masih memikirkan Yunita dan perkataannya. Diana tak pernah tahu mengapa Yunita begitu membencinya. Diana pasti akan maklum jika bibinya tak mau menerimanya, namun pernyataan Yunita terakhir kali benar-benar mengguruinya.
Kenapa Yunita harus menyalahkan ayahnya? Kenapa Yunita harus mengotori citra Andreas di benak Diana?
Harusnya Diana tidak pergi begitu saja saat itu. Setidak-tidaknya, ia ingin Yunita menjelaskan. Tetapi saat itu Diana dilanda emosi sebagai respon pertama karena Yunita membawa nama ayah yang ia kagumi sejak lahir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Obsession
RomanceSURRENDER SERIES #3 √ Completed √ ~ Setelah bertahun-tahun Ryan mempertahankan topengnya sebagai sosok yang dingin dan tak acuh, mendadak seluruh dunianya dijungkirbalikkan oleh Diana yang sanggup menghubungkan Ryan dengan masa lalunya. Rasa penasar...