SO - BAB 29

16K 1.3K 10
                                    

Ini terlalu cepat, seperti yang Diana perkirakan. Dua minggu adalah waktu ekstrem yang Ryan dan Diana gunakan untuk menyiapkan pernikahan. Seingat Ryan, ia pernah mendapati persiapan yang lebih mendadak daripada ini. Pernikahan ayah dan ibunya berlangsung dalam sekejap. Di suatu Minggu ibunya berkata bersedia untuk menikahi William, Minggu selanjutnya Ryan telah memiliki seorang ayah baru yang ia impikan.

Tapi tentu saja itu tidak bisa dipadankan. Ayah dan ibunya hanya mengundang keluarga. Mereka tak mengadakan pesta. Hanya sebuah makan malam bersama dengan suasana hangat. Sementara Ryan perlu memikirkan kolega-kolega bisnis, dewan direksi, karyawan, dan masih banyak lagi. Jika dilihat dari jumlah dan rumitnya silsilah keluarga yang selama ini berada di lingkaran Ryan, tentunya Ryan perlu mengundang banyak orang.

Tentu saja Ryan tak akan membiarkan Diana mengurus segalanya sendiri. Ryan telah menyampingkan seluruh pekerjaannya demi pernikahannya dengan Diana. Sebisa mungkin Ryan menghindarkan Diana dari stres yang kerap kali terjadi pada calon mempelai wanita, tapi sepertinya, Ryan tak terlalu berhasil.

Diana terlihat murung seminggu belakangan. Tinggal seminggu lagi hari yang telah mereka nantikan, namun selama rentang waktu itu juga Ryan tak lagi melihat senyum Diana. Wanita itu selalu tidur lebih cepat. Mereka tak lagi punya waktu untuk mengobrol. Diana selalu bangun terlambat dan selalu beralasan membutuhkan tenaga ekstra ketika Ryan susah payah membangunkannya. Namun yang ada di pikiran Ryan, wanita itu berusaha menghindarinya.

Ryan tak tahu mengapa.

Ryan tahu ada yang salah. Ryan hanya tak mengerti mengapa Diana tak mau membicarakan. Ryan sebisa mungkin mendorong wanita itu bercerita, tapi... astaga... sulit sekali. Wanita itu punya ribuan alasan untuk menghindari Ryan di sofa. Ryan belum bisa menegaskan masalah ini. Ia tak mau Diana semakin kacau karena Ryan yang terlalu sering mendorongnya.

Jika diingat-ingat, Ryan tidak melakukan kesalahan apapun selama seminggu ini. Mereka baik-baik saja saat menentukan pilihan untuk menyempurnakan pernikahan mereka. Mereka selalu sehati ketika menentukan pilihan. Mereka juga tak pernah berteriak atau sedang terlibat masalah pribadi―mungkin saja... Ryan tak tahu. Setidaknya, Diana harus memberitahu mengapa ia bersikap seperti itu. Ryan menduga-duga masalah pribadi apa yang mungkin mengganjal di benak Diana, namun ia tak juga menemukan celahnya. Yang Ryan ingat, Diana jarang terlibat masalah dan wanita itu selalu bisa mengatasi apapun. Diana selalu bersemangat hingga menyebarkan aura positif bagi sekitarnya. Ryan tak mengerti apa yang membuat Diana begitu murung.

Ryan mengancingkan setelannya dan menghampiri Diana yang baru saja keluar dari ruang ganti. Ryan mengamati di tiap langkah yang ia ambil. Diana cantik dengan gaun pengantinnya. Gaun pengantin tanpa lengan dengan manik berbinar. Ukurannya telah pas di tubuh Diana. Bagian belakangnya terseret pendek, memberikan kesan anggun untuk menyempurnakan kecantikan Diana. Gaun itu sempurna untuk Diana―calon istri Ryan.

Diana menatap kaca mengamati dirinya. Ryan berharap ada secercah senyum bahagia sejak seminggu lamanya, namun wajah Diana tetap saja datar dan tanpa ekspresi ketika mengamati gaun yang melekat di tubuhnya. Kemudian dahinya berkerut seolah berpikir. Ryan tidak tahu apa yang ada di pikiran Diana. Selama tiga puluh satu tahun usianya, Ryan berharap bisa membaca pikiran seseorang.

Diana adalah satu-satunya orang yang sulit Ryan mengerti.

"Cantik," bisik Ryan. Ia mendengar embusan napas Diana seolah gugup karena Ryan mendekatinya. Wanita itu memejamkan mata ketika Ryan berusaha menarik tatapan melalui cermin. Ryan tidak suka dihindari oleh Diana. "Gaunnya sempurna. Aku tak sabar menjadikanmu milikku."

Diana membuka mata namun tatapannya berlari dari Ryan. "Seminggu lagi."

"Ya," bisik Ryan.

"Kau tampan," kata Diana, meski Ryan tahu wanita itu tak mengamatinya.

Surrender of ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang