Ryan dan Diana bergelung di ranjang sempit rumah sakit. Yang sialnya, mereka juga masih dengan kostum rumah sakit. Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu berada di inkubator, putra mereka akhirnya bisa keluar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya yang keras dan lebih berbahaya daripada rahim ibunya yang dikoyak maut berkali-kali.
Diana berbaring menyamping sementara Ryan tidak bisa bergerak bebas karena tubuhnya masih nyeri di beberapa bagian. Terutama kakinya yang belum bisa digunakan. Putra mereka yang sangat kecil berada di antara mereka. Ia tertidur dengan nyaman dalam balutan berlapis-lapis selimut.
Baik Ryan dan Diana belum menyentuh bayi itu sejak perawat menidurkannya di sini. Ryan dan Diana hanya mengamati dengan serius.
"Dia punya matamu," kata Diana tanpa menatap Ryan.
"Matanya tertutup, Diana. Kau tidak tahu."
"Aku sudah melihatnya lebih dulu."
Yah, Diana pantas mendapatkan kesempatan itu mengingat betapa tangguhnya dia dalam bertahan. Ryan merasa begitu bersalah karena tidak mendampingi Diana kala itu. "Tapi dia punya bentuk wajahmu," kata Ryan.
"Rambutnya mirip dirimu."
"Rambutnya bahkan belum tumbuh."
"Aku yakin rambutnya akan sepertimu."
Ryan tertawa. "Ya, Ibu."
Diana mengalihkan tatapan pada Ryan. Pria itu membalas. "Ini saatnya."
"Apa?" tanya Ryan bingung.
"Menamainya."
Ryan menegang. "Kau menungguku sadar untuk menamainya? Jadi dia belum punya nama?"
Diana mengendik. "Kau bilang kau punya nama tengahnya. Dia tak akan sempurna tanpa nama darimu."
"Tapi aku bisa saja tak akan pernah sadar lagi. Kau membiarkannya tidak mempunyai nama?"
Diana menunduk. "Kau tak tahu seberapa besar keinginanku untuk melihatmu bangun. Aku sangat takut. Panik. Aku tak bisa meninggalkanmu. Tapi itu mempengaruhi bayinya. Jadi selama kontraksi itu, mereka menjauhkanmu dariku. Mama menjagaku dan Papa yang menjagamu. Aku sebisa mungkin mengalihkan perhatian. Aku ingat untuk tidak panik, tapi aku panik hampir sepanjang waktu. Aku... takut kehilanganmu."
Ryan dan Diana menunduk bersamaan ketika putra mereka menggeliat. Sekarang dunia mereka juga telah terbagi pada laki-laki kecil ini. Ryan menunduk dan memberanikan diri mengecup putranya yang begitu kecil dan rapuh. "Aku mencintaimu, Nak." Kemudian mengecup kening Diana. "Aku juga tak bisa membayangkan diriku kehilanganmu. Kalian berdua adalah hidupku."
Diana mengusap air matanya. Menunduk dan mengecup lama di puncak kepala si kecil. "Ibu mencintaimu, Sal."
"Sal?" tanya Ryan terheran.
Diana mengangguk. "Sal untuk Salendra. Aku akan membuatnya menjadi adil untuk keluarga Salendra dan Archer. Bayi ini milik kedua keluarga ini."
Bertahun-tahun yang lalu, Ryan mungkin tak akan setuju bagian lain dirinya dirajah oleh keluarga Salendra. Tetapi Salendra Archer cocok untuk menjadi nama lelaki kecil yang tangguh ini. Saat ini, Ryan sama sekali tidak merasakan keraguan saat Diana menamai putra mereka dengan bagian lain dari Adrian. Entah bagaimana ini terasa sangat benar.
"Salendra Andreas Archer," kata Ryan memperjelas.
Diana terkejut ketika Ryan menyebutkan nama tengah yang diberikan pada putra mereka. Nama ayah Diana―sosok yang selalu Diana banggakan. "Itu... kau... serius?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender of Obsession
RomanceSURRENDER SERIES #3 √ Completed √ ~ Setelah bertahun-tahun Ryan mempertahankan topengnya sebagai sosok yang dingin dan tak acuh, mendadak seluruh dunianya dijungkirbalikkan oleh Diana yang sanggup menghubungkan Ryan dengan masa lalunya. Rasa penasar...