My Prince - 03

980 105 144
                                    

Suara burung yang berkicau di jendela kamar pasien membuat Arga membuka matanya, dia menguap lebar kemudian mengerjap-erjapkan matanya dan sadar kalau saat ini dia tertidur di tempat ini semalam, padahal niatnya dia ingin bermalam di kamar pribadinya sendiri yang telah disiapkan oleh Raja William.

Ah, tapi tidak apa-apa, pikir Arga. Mungkin ini juga bukan hal yang buruk, mengingat kondisi tubuhnya juga belum sepenuhnya pulih.

"Sudah pagi, ya?" Matahari yang menyingsing masuk ke dalam kamar melalui kaca jendela membuat mata Arga disipitkan karena silaunya. "Hah, sarapan apa aku hari ini, ya?"

"Sarapanmu ada di atas meja di samping kasurmu, Pemuda." ucap seorang prajurit yang kemarin mengobrol dengan Arga dari ranjangnya yang ada di sebelah kasur pemuda pirang tersebut.

"Oh, begitu, terima kasih. Paman sendiri? Apa sudah sarapan?" Arga menoleh dan tersenyum pada prajurit yang dia panggil paman itu.

"Aku sudah sarapan." jawab prajurit paruh baya tersebut dengan nada santai pada Arga. "Jangan khawatir."

Setelah Arga menghabiskan sarapannya dengan lahap, dia berkata pada prajurit itu dengan sedikit berbisik, "Ngomong-ngomong, apakah paman tahu di mana tempat yang selalu dikunjungi para putri setiap pagi?"

Prajurit itu tersentak, alisnya terangkat semua, dan bibirnya mengerucut. "Ya, seingatku, sih, para putri sering menghabiskan pagi mereka dengan kegiatan masing-masing. Contohnya, Putri Agnes, setiap pagi dia selalu mengambil beberapa ramuan buatannya yang dia simpan di dapur, sementara Putri Laila setiap pagi pergi berkebun untuk mengurusi tanaman miliknya."

Arga mengangguk paham, "Jadi begitu, aku kira mereka akan berkumpul bersama di suatu tempat untuk mempererat tali persaudaraan atau semacamnya, tapi perkiraanku salah, hahaha." Arga tertawa setelahnya.

Kemudian, dokter wanita yang memiliki tahi lalat besar di pipi kanannya menghampiri Arga yang berbaring di kasurnya dengan membawa sebuah papan catatan, Arga sedikit waswas karena dia takut akan dimintai biaya perawatan yang telah dia lakukan di sini.

"Tuan Arga Gelisto, benar?" tanya dokter wanita itu dengan menyipitkan matanya pada Arga untuk memastikan.

Arga menjawab cepat, "Ya, benar."

"Ada beberapa surat untukmu," Dokter itu tersenyum. "Dan jangan tanya padaku siapa pengirimnya, oke?" Lalu dokter itu berlalu dari Arga untuk kembali bekerja setelah memberikan surat-surat itu pada lelaki bertanduk tersebut.

Arga kaget, matanya terbuka lebar, memandangi lima surat yang dia terima pagi ini. Prajurit paruh baya yang berbaring di kasur sebelah Arga wajahnya tiba-tiba memucat setelah melihat lima surat yang ada di genggaman Arga.

"Pemuda, lebih baik kau buang surat-surat itu ke tong sampah! Kau sedang dalam bahaya, pemuda!"

Arga memiringkan kepalanya tak paham dengan ucapan prajurit itu. "Lagi-lagi kau berbicara aneh, paman? Sebenarnya apa maksudmu menyuruhku untuk membuang surat-surat ini?"

"Itu adalah surat manis yang ditulis oleh kelima putri di istana ini untuk tamu yang akan mereka habisi! Sebaiknya kau buang saja! Jangan dibaca!"

Namun, semakin seseorang melarangnya, itu membuat Arga semakin penasaran pada isi surat-surat tersebut. Kira-kira apa ya yang mereka tulis untuk Arga? Apakah sambutan indah? Atau ancaman mengerikan?

Berhubung Arga adalah tipe manusia yang tidak percaya omongan orang sebelum ada bukti, maka dia buka surat itu tanpa mempedulikan ekspresi prajurit yang ada di sampingnya yang kelihatan hampir sekarat ketika melihat Arga membuka kertas tersebut.

"Mengapa kau tidak mengindahkan peringatanku, pemuda, kalau terus begini, aku tidak bisa membantumu."

Mendengarnya, Arga langsung menoleh pada paman prajurit, "Aku tidak ingat kalau aku pernah meminta bantuanmu, Paman?" Dan muka prajurit itu memutih karena malu atas omongannya sendiri.

My Prince ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang