Bagian Tiga Belas

7.3K 751 17
                                    

"Hujannya udah mulai reda," ujar Prilly. "Biar gue anter lo pulang," imbuh Prilly. Dan benar saja, hujan benar-benar berhenti. Badan Ali mulai rileks, tidak sekaku tadi, Prilly yang merasakan perubahan itu menghela napas lega. "Gimana sama motor lo?" Tanya Prilly yang tidak mendapat respon apapun.

Mungkin Ali masih syok, pikir Prilly. "Motor lo dikunci yang bener dulu, entar diambil orang," ujar Prilly. Ali hanya diam, bibirnya berwarna putih pucat. "Lo kalo hujan emang mendadak bisu gini ya?" Gerutu Prilly kesal. Dari tadi dia mencoba mengajak Ali berbicara, yang didapat hanya respon kosong.

"Yaudah deh, terserah mau motor lo kemalingan atau gimana. Yang penting lo pulang ke rumah dulu, nyusahin," imbuh Prilly sambil menarik tangan Ali. Ali tidak bisa menolak tarikan tangan Prilly, dirinya masih bergetar ketakutan. Ini pertama kalinya dia menghadapi hujan secara langsung, jika biasanya ia masih sempat melarikan diri tapi kali inj berbeda.

Tadinya, Ali pikir ia akan sempat memacu motornya dengan kencang sampai ke rumah sebelum hujan. Tak taunya, saat di pertengahan komplek, air hujan menetes sedikit. Ia takut dan kewalahan, sungguh ia sangat takut, jadi ia menghentikan mesin motornya dan meringkuk di tepi jalan.

Saat sampai di depan rumah Ali, Resi beserta Oma menatap Ali khawatir. Resi tidak banyak bicara, ia langsung menarik tubuh Ali dan mendekapnya erat. "Tadi aku lihat Ali di Blok C lagi meringkuk ketakutan," hanya itu yang bisa disampaikan Prilly.

Tidak mungkin ia bercerita bahwa tadi ia sempat menghina Ali, berniat meninggalkan Ali, dan...yang terakhir ia berpelukan bersama Ali di bawah genteng rumah orang. "Makasih ya, Pril. Tante gak tau kalo gak ada kamu Ali bakal gimana. Dia itu phobia banget sama air hujan," ucap Resi dengan nada haru.

"Yaudah, mendingan kamu sama Ali masuk dulu, bersihin tubuh kalian dulu, kalo kelamaan kena air hujan bisa masuk angin," kata Oma sambil mengajak Prilly masuk. Prilly hanya mengangguk, yang dikatakan Oma memang ada benarnya.

Setelah selesai membersihkan tubuh, Ali dan Prilly duduk di ruang tengah. Resi juga menyediakan dua cangkir teh hangat. Resi mengelus punggung Ali pelan, ia tahu bahwa putranya masih terguncang ketakutan.

"Motor Ali tadi udah dibawa pulang sama Pak Ujang," kata Resi sambil menatap putranya khawatir. Ia melihat tatapan kosong di mata Ali. "Biasanya Ali bakal berapa lama baikan, Tan?" Tanya Prilly ikut-ikutan khawatir.

"Ini pertama kalinya dia terguyur sama air hujan, kalau biasanya dia sempat masuk ke kamar untuk tidur, makanya sekarang Tante khawatir banget," ujar Resi sedih. "Ali punya trauma apa sama hujan?" Tanya Prilly, Resi menggeleng. "Dia gak punya trauma apapun tentang hujan, cuma pas bayi Ali selalu nangis dan bibirnya bakal pucat tiap hujan," jawab Resi.

* * *

Pagi ini, Ali datang dengan rasa gugup bukan main. Kemarin Prilly menemukan kelemahannya, ia khawatir Prilly akan membullynya habis-habisan. Bahkan sedari tadi Ali bergerak gelisah di ruangannya. Ghina yang melihat hal itu pun, menatap Ali dengan pandangan bingung.

"Lo kenapa? Dari tadi mondar-mandir gak jelas, kayak setrikaan," celetuk Ghina. "Si Prilly hari ini berulah gak?" Tanya Ali tidak menghiraukan pertanyaan Ghina. "Loh? Dia 'kan masih masa hukuman, mana mungkin dia berulah, palingan besok," jawab Ghina enteng.

Hati Ali sedikit tenang, untuk hari ini dia bisa bebas, tapi besok? Ah, entahlah. "Terus besok dia kalo berulah lagi, lo mau ngehukum dia lagi?" Tanya Ghina. Ali menggeleng, "Dari awal gue ngehukum dia, gue udah tau konsekuensinya. Ini cuma bakal bertahan seminggu, lagian dia juga bilang dia gak bakal berubah. Jadi, usaha gue sia-sia."

"Hari ini hari terakhir hukuman dia 'kan? Lo bakal ngajak kemana lagi? Rumah Mamah Dedeh? Biar suci tuh pikiran dia," gurau Ghina. "Enggak, kayaknya hari ini gue bebasin dia," jawab Ali. Sekalian menghindar dari dia, tambah batin Ali.

Ghina hanya ber-oh ria. Dan bel pertanda istirahat berbunyi. Ali yang lapar berjalan menuju kantin, ia berpas-pasan dengan Prilly di perjalanannya. Prilly menahan bahu Ali pelan, Ali sedikit takut dengan tingkah tiba-tiba Prilly.

Ali takut Prilly menahannya untuk mempermalukan dirinya. Bisa saja Prilly melakukan pembullyan padanya, mengingat Prilly mengetahui dengan jelas kelemahan yang ada pada diri Ali. Prilly yang merasa Ali akan pergi mengeratkan pegangan pada bahu Ali.

"Lo mau kemana?" Tanya Prilly. Ali gelagapan. "Gimana? Lo udah baikan?" Tanya Prilly lagi. Ali menghela napasnya lega. "Hari ini gue bebasin lo, maaf, tapi gue gak jadi ngajak lo pergi. Dan kehidupan kita besok akan berjalan seperti sedia kala," hanya itu yang disampaikan Ali.

Pegangan pada bahu Ali mengendur. Ucapan Ali mutlak, tidak dapat dibantah. Seharusnya Prilly sadar, bahwa Ali masih Ketua OSIS yang selalu merusak kebahagiaannya. Apa yang ia harapkan dari Ali? Ajakan pertemanan? Mustahil.

Seharusnya dari awal, Prilly tidak menaruh harapan lebih. Menaruh harapan bahwa Ali akan menghabiskan waktu bersamanya, di hari terakhir hukumannya. Dan sekarang Ali meninggalkannya bersama perkataan mutlak yang terngiang jelas di otak Prilly. Prilly kecewa karena Ali. Kecewa karena Ali mengingkari janjinya. Janji di hari terakhir hukuman Prilly.

Gritte yang baru datang menepuk kencang bahu Prilly. "Gue cariin juga dari tadi, taunya lo disini," seru Gritte. Mendadak Gritte terdiam menyadari perubahan raut wajah Prilly. "Kenapa muka lo gitu amet? Perasaan tadi pas datang lo bahagia-bahagia aja," lanjut Gritte.

"Gimana udah ketemu sama Ali? Terus hari terakhir hukuman lo, kalian mau kemana?" Tanya Gritte bertubi-tubi. "Bisa diem gak?! Gue benci banget sama Ketua OSIS laknat itu! Liat aja, besok gue bakal buat perhitungan sama dia," ujar Prilly sambil menyeringai jahat.

"Lah? Bukannya kalian udah baikan?" Tanya Gritte bingung. Perubahan sikap Prilly terhadap Ali yang sangat tiba-tiba menimbulkan tanda tanya besar bagi Gritte. "Baikan? Gak ada tuh dalam kamus gue buat baikan sama dia," balas Prilly.

* * *

Sebenarnya hari ini aku gak dapet feel buat nulis, tapi udah keburu janji sama kalian. Cuma bisa segini dan maaf kalau gak sesuai dengan ekspetasi kalian. Pengen panjangin chapter kali ini, tapi gak mau dipaksa juga, entar kesannya malah jatuh dan gak dapet feel sama sekali. Sekian😊

OMBROPHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang