Ice cream itu memang manis. Sayangnya, ia tak kelewat manis, dengan kenangan manis, yang selalu bersemayam di hati.
– Sefina Amara
♥♥♥
"Ka, Ka, Ka, Ka, Ka."
"Raka, Raka, Raka."
"Kaaaa."
Orang yang dimaksud pun langsung menoleh ke arah sumber suara.
Dan orang yang memanggil Raka dengan suara lirih itu memberikannya kode.
Fia menunjukkan tiga jari, lalu kedua telapak ia lambaikan tanda kata tidak. Lalu Fia menunjukkan empat jarinya.
Raka yang melihat itu masih bingung. Kepalanya dimiringkan tanda berfikir. Seakan mengerti itu, Fia mencoba mengulanginya.
Namun, kali ini tidak dengan kode.
Tapi dengan suara yang dipelankan.
Sebelum itu, Fia mencoba melihat situasi kelas. Guru yang sedang mengawaspun masih asyik dengan laptopnya.
Baiklah, situasi yang tepat!
Fia kembali menoleh menghadap Raka. "Nomer 36 yang tadi jawabannya nggak jadi C, tapi D," tepat setelah Fia mengatakan itu Raka baru paham.
Sebelum Fia benar–benar berbalik, Raka memberi kode untuk tetap. Raka menatap soal yang belum ia jawab. Lalu ia kembali menatap Fia.
"Nomer 23, 24, 25, 26, 27," ucap Raka dengan suara lirih. Mendengar itu Fia memelototkan matanya sebentar. Harusnya ia tahu, Raka kalau mencontek memang nggak nanggung–nanggung. Fia menghembuskan nafas sebentar.
"Sabar, Fi, sabar," ucap Fia pada dirinya sendiri. Lalu ia melihat jawabannya sebentar. Dengan cepat tangannya bergantian menunjukkan angka 2, 3, 1, 3, 4.
Raka mengangguk dan langsung mengisi soal sesuai jawaban Fia.
Waktu terus berlalu. Suasana yang tenang membuat beberapa siswa yang sudah mengerjakan memilih tidur untuk menunggu berakhirnya waktu ujian.
Ada beberapa siswa yang menghitung kancingnya untuk memilih jawaban, ada juga yang cap cip cup, bahkan ada yang tolah–toleh untuk melihat jawaban temannya.
Tak hanya itu. Ada siswa yang terlalu teliti saat mengerjakan ujian. Mereka mengoreksi jawabannya, dan menggaris kunci penting dari soal. Mereka terlalu menimang–nimang jawabannya.
Waktu semakin terlahap. Dan saat ini, waktu ujian kurang 15 menit. Suasana kelas yang awalnya tenang pun mulai ramai. Itu karena mereka mulai membicarakan sesuatu. Mulai menanyakan jawaban ujian.
"Apa sudah selesai semua?" tanya guru pengawas yang melihat siswanya sudah mulai ramai.
"Belum," jawab satu kelas serentak.
"Kalau belum, jangan ramai! Yang sudah selesai coba periksa lagi,"
♥♥♥
"Akhirnya selesai, juga," Abi mengucapkannya sambil merentangkan tangannya ke atas.
"He Raka gila, lo nggak belajar kemarin ya?" Fia tiba–tiba datang dan menepuk pelan punggung Raka.
"Belajar, dikit," jawab Raka sambil berjalan. Padahal, Kemarin malam Raka hanya membuka buku sebentar, lalu menutupnya. Dan baginya, itu sudah belajar.
"Fia, kenapa tadi gue manggil lo nggak noleh–noleh?"
Fia menoleh. "Oh, lo manggil gue. Tapi gue tadi beneran nggak denger, suwer," Fia menunjukkan kedua jarinya tanda peace.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laat
Teen Fiction*SINOPSIS DIREVISI* ♥♥♥ Apa yang kalian rasakan saat satu-persatu orang terdekatmu pergi menjauh? Mungkin hal yang kalian rasakan, hampir sama dengan apa yang Sefina Amara rasakan. Apalagi mereka tak hanya pergi, mereka juga meninggalkan bekas luka...