Kisah yang Keduabelas

33 4 0
                                    

Lewat tetesan hujan, kamu bercerita. Seraya mendalami rasa sakit yang kau terima. Itu sangat bodoh. Rasa sakit tak seharusnya dirasakan. Cukup obati. Lalu berdirilah seolah kau tak pernah memiliki luka.

♥♥♥

"Jawabannya bukannya yang A, ya?"

Salma yang awalnya terfokus pada lembaran penuh soal pilihan ganda itu kini menengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang berbicara padanya.

"Emangnya bener yang A? Gue nggak yakin sama lo," Salma mengucapkannya sambil tersenyum jahil.

Sosok yang ditanya tidak tahu harus menjawab apa. Dia mengalihkan pandangannya seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sebenarnya, ia juga tidak tahu jawaban yang benar. Ia hanya menjawab secara asal.

"Ya kayaknya gitu."

Salma tertawa pelan. "Sudah gue duga, Ka."

Lalu Salma kembali memfokuskan dirinya pada lembaran soal tersebut.

"Tapi gue yakin yang ini," Raka menunjuk soal biologi nomor 20 itu, "Jawabannya pasti A."

"Seberapa yakin?"

"90%."

"Tapi masih ada 10% yang nggak yakin, kan?"

Raka terhenyak dengan ucapan Salma.

Suasana di dalam perpustakaan hening. Hanya terdengar suara hembusan nafas dari dua mahkluk itu. Apalagi suasana yang ada diantara Raka dan Salma.

Mereka sudah berada di ruangan ini sejak beberapa menit yang lalu. Awalnya, Salma yang sudah berada di perpustakaan lebih awal. Ia ingin memfokuskan menjawab lembaran latihan soal untuk ulangan susulan besok.

Dan Raka yang tidak sengaja melewati ruangan yang di penuhi buku lama itu, memutuskan untuk menemani Salma.

Sekalian memperhatikannya dalam diam.

"Tapi itu gue nyontek Sefina. Kemungkinan salahnya sedikit, kan?"

Ucapan Raka membuat Salma menatapnya. Lalu ia terkekeh.

"Iya, sih," lalu Salma mengangguk–anggukkan kepalanya. "Tapi gue butuh alasan masuk akal. Ini kan latihan soal ulangan besok. Gue nggak mau dapat nilai 5 terus," cerocos Salma.

Raka tersenyum. "Lo kalau ngomong harus ada selipan curhat dan keluhan gitu, ya?"

Salma kembali menatap Raka. "Ya maafkan. Kan gue hanya mengutarakan isi hati," Salma nyengir.

Lagi–lagi Raka tersenyum.

"Ka, untung gue bukan penggemar lo yang tiap hari neriakin lo. "

"Emang kenapa?"

"Kalau gue penggemar lo, lihat lo senyum aja gue mungkin udah guling–guling."

"Oh, ya? Coba praktekin," usulan Raka membuat Salma mendelik.

"Au, ah. Kesel gue," Salma pura-pura mengerucutkan bibirnya. Ia juga mengalihkan pandangannya.

"Ngambekan. Pantes aja jelek."

"Ngaca, Ka!"

♥♥♥

"Sefina!"

LaatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang