"Eomma?"
"Rupanya kau masih ingat suaraku, Jira."
Kekehannya membuatku mematung seketika. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa dia menghubungiku. Sudah lebih dari 3 tahun aku ataupun dia tidak pernah menampakkan batang hidungnya masing-masing, bahkan hanya sekedar bertelfon pun tidak pernah. Tapi kenapa sekarang dia bisa menghubungiku? Apa bibi memberitahu nomorku? Jika iya, bibi benar benar keterlaluan.
"Ku rasa kita tidak punya urusan. Jangan hubungi aku lagi. Kau mengganggu ku." pun aku langsung menarik ponselku dan hendak menutup sambungannya. Tapi, suara teriakan dari seberang sana mengurungkan niatku.
"Tunggu. Dengarkan aku baik-baik, Jira. Aku mohon kau kembali. Tinggalah bersama kami, Jira. Aku mohon," entah kenapa suara memohonnya itu membuatku bergidik jijik. Wajah memelas yang dibuat buat tercetak jelas dalam otakku.
"Dengar, Nyona Jung. Sampai kapan pun aku tidak akan mau tinggal bersamamu. Dan aku tidak akan memohon. Aku sudah bahagia sendiri. Jadi, enyahlah dari dunia ku." Dia terkekeh mendengar ucapanku. Seakan akan apa kalimatku tadi hanyalah sebuah bualan. Sungguh, aku benci dengan orang ini. Bagaimana bisa aku terlahir dari rahim seoarang wanita seperti dia. Oh, astaga, Jira. Tahan.
"Astaga, kau tidak berubah, Jira. Tetap saja keras kepala.. " dia menghela nafasnya perlahan, "jika kau tidak mau dengan cara baik seperti ini, maafkan aku jika aku memakai cara yang lebih keras. Ini kemauanmu kan?"
Aku memutar bola mataku. Malas. "Berhenti dengan omong kosongmu itu, Nyonya Jung." tanpa aba-aba aku langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Menaruh kembali ponsel ku kedalam tas. Tanganku terangkat menopang kepala dan memijat pangkal hidungku. Hanya mendengar suaranya dari telfon saja bisa membuat emosiku memuncak. Bayang bayang masa lalu terputar kembali seperti kaset rusak. Membuat kepalaku seperti tertusuk tusuk jarum dan sesak dalam dada. Tenggorokkan ku terasa seperti tercekak. Mengakibatkan mataku memanas dan buliran air berhasil terjun melewati pipi. Dengan cepat aku menghapus dengan punggung tanganku. Jangan biarkan masa lalu membuat mu lemah, Ra.
"Jira?" oh, astaga. Aku melupakan pria yang ada dihadapanku ini.
Dia memandangiku dengan tatapan bingung juga khawatir. Tangannya terulur meraih tangaku. Menggenggamnnya erat dan memeberi sedikit rasa nyaman karna sapuan ibu jarinya.
"Tidak apa-apa?"
Aku tersenyum. Kemudian memgangguk. Dia tidak langsung berbicara. Tapi, tatapannya seakan akan sedang membaca tulisan tulisan yang ada dalam kepalaku. Sedangkan ibu jari nya masih tetap mengelus punggung tanganku dengan lembut. Dia menarik kedua sudut bibirnya. Senyumnya yang sangat lebar dan juga tulus dapat mengosongkan pikiranku seketika.
"Mau pulang?" tanyanya. Aku melirik ke jam dinding terlebih dahulu, kemudian mengangguk.
***
Sepanjang perjalanan kami diselimuti dengan keheningan. Aku bergelut dengan otakku sendiri. Memikirkan bagaimana jika ibuku kembali memaksaku agar tinggal bersama keluarga barunya? Mungkin, menurut kalian itu bukanlah hal yang harus dibesar besarkan. Tapi, bagiku ini hal yang cukup besar.
Perlakunnya terhadapku dulu terus saja terbayang. Membuatku menjadi muak terhadapnya. Belum lagi ketika dia menikah. Jangankan mengundang, memberi kabar bahwa dia akan berkeluarga lagi pun tidak. Dan tiba tiba saja dia kembali dengan menggendong seorang anak bayi. Dia datang memberi tahukan semuanya lalu mengajakku tinggal bersama. Kalian bisa membayangkan betapa kecewanya aku terhadap ibuku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHANGED
FanfictionBahwa kenyataannya yang paling pahit adalah aku tetap sendiri. Tetap berdiri sendiri. Bernafas sendiri.