"Jadi maksudmu, ibumu akan memaksa kau untuk tinggal bersama nya?"
"Astaga, Jimin. Berhenti menyebutnya ibuku." Aku menangkupkan wajahku frustasi. Jimin Sialan. Sudah ku peringatkan bahwa dia bukan ibuku.
"Oh, maaf, jadi aku harus memanggil nya apa?"
Aku menyenderkan punggungku pada senderen kursi. Sambil membuang nafas kasar aku menatap Jimin lelah. Seharusnya bukan membicarakan dia harus memanggilnya apa, tapi bagaimana agar aku bisa menghindari orang orang suruhannya itu. Hah! Aku mulai tidak yakin Jimin bisa membantuku.
Aku mengambil secangkir coklat panas yang tadi aku pesan. Menyesapnya secara perlahan sambil terus memandangi Jimin dari balik bulu mataku.
Jimin bergerak maju dan melipatkan kedua tangannya diatas meja, "Oke, maaf, kalau gitu panggil saja dia wanita jahat, bagaimana?"
Bunyi keras akibat benturan cangkir yang terbuat dari keramik dan meja yang terbuat dari kayu itu berhasil memancing pandangan orang orang yang langsung menoleh penasaran. Memejamkan mata dan menarik nafas perlahan. "Seharusnya kita tidak membahas itu, Jim." lirihku.
Jimin membulatkan matanya sekilas. Kaget dan mungkin juga dia baru sadar dengan kondisi kami -khususnya aku- sekarang.
"Maaf,"
"Sudah tiga kali kau bilang maaf. Percuma, kita tidak menemukan titik terang untuk melindungiku," oke, sekarang aku benar benar takut. Panik. Frustasi. Semuanya mencampur jadi satu.
"Oke, maaf..-"
"Berhenti meminta maaf, Jim. Aku tidak memerlukannya," aku mengusap gusar wajahku. Rasanya darah dalam diriku mulai memanas. Tidak ada siapapun yang akan melindungiku. Benar. Hanya ada aku. Dan aku sendiri yang akan melindungi diriku.
"Seharusnya aku tidak mengajak mu masuk dalam drama keluarga ku, Jim. Aku yang seharusnya minta maaf. Maaf karna aku akan banyak merepotkanmu."
"Kau ini bicara apa? Sudah aku bilang aku akan melindungimu." Jimin bergerak menegakkan tubuhnya. Tanganya meraih tangannyaku yang tergeletak diatas meja. Dia meremasnya pelan. "Aku hanya tidak mengerti kenapa kau menghindari wanita itu. Jika aku salah bertindak, bisa saja dia menuntutku karna dia punya kuasa atas dirimu. Kau anaknya. Walaupun kau tidak mengakuinya. Jadi, aku harus bagaimana? Apa yang bisa aku lakukan, Jira?"
Aku menatap pagutan tangan kami. Tanganku bergerak membalas genggamannya. Ibuku jahat, Jim. Bahkan dia tidak pantas di panggil 'ibu'.
Aku menarik punggungku. "Jim, menja..--- aaww!!" sialan. Apa apaan ini.
Aku menarik tangaku dalam genggaman Jimin. Tubuhku berputar sembilan puluh derajat agar bisa melihat orang yang sengaja menabrak punggungku.
Mataku mendelik melihat seorang pria dengan pakaian serba hitam. Lengkap dengan topi hitam dan kacamata hitam. Tampilannya tidak asing dimataku. Sepertinya aku pernah melihat orang ini sebelumnya.
Kepalaku tertarik kesebelah kanan. Meneliti wajahnya. Kemudian dia membungkuk sekilas dan berlalu dari hadapanku.
Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku kembali. Untuk beberapa saat aku terdiam. Namun, mataku terus mengekor kemana pun orang serba hitam itu berjalan hingga dia duduk disudut ruangan kedai ini. Dia duduk menghadap ke arahku dan dengan perlahan dia melepaskan kacamata hitamnya yang sedari tadi membuatku risih. Saat benda itu terlepas dari wajahnya, pandangannya langsung terarah kepadaku. Aku membuka mulutku lebar, ditambah lagi saat dia mengulas senyumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHANGED
FanfictionBahwa kenyataannya yang paling pahit adalah aku tetap sendiri. Tetap berdiri sendiri. Bernafas sendiri.