"Pa, tumben pulang cepat?"
Istriku menyambut di depan pintu dengan senyum mengambang di bibir. Dia gak sadar apa, meski di sudut bibir bekas gigi taringnya yang telah pamit terlihat saat dia tersenyum, tetap saja aku merindukannya.
"Mama gimana sih? Pulang cepat dicariin, pulang lambat dipertanyakan," sahutku sambil membuka helm dan dia membantu mengembalikan ke tempat penyimpanannya.
"Bukan gitu, Pa," sahut istriku sedikit gugup.
"Papa kan kangen." Eeaa ... berasa muda sepuluh tahun.
"Papa baik-baik saja kan?" Istriku terkekeh.
Salahku juga sih, dari awal pernikahan jarang sekali mulut ini untuk bilang cinta, sayang apalagi rindu. Padahal kalau dalam hati, bwee jangan ditanya. Tak rela terpisah, bahkan untuk kerja keluar kota pun sebisa mungkin aku akan ajak dia. Meskipun itu hanya untuk satu atau dua hari.
"Ah sudahlah, Papa mau mandi dulu," sahutku melengos malas. Padahal kali ini aku jujur lho. Kata-kata itu telah berhasil kuucapkan dengan susah payah, eh malah istriku ngeledek.
Wanita yang telah mendampingiku hampir dua puluh tahun itu melenggang ke dapur, masih dalam senyuman. Entah benar menertawakanku, entah karena senang.
Aroma kopi susu menyeruak hidung ketika aku kembali ke ruang tengah setelah bersih-bersih. Istriku ini memang super, dia selalu mengerti apa yang kubutuhkan tanpa harus memintanya terlebih dahulu. Kecuali untuk hal yang satu itu. Urusan ranjang.
Akhir-akhir ini aku kerap pulang malam, pertama karena memang banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di kantor. Kedua sengaja menghindari bermacet-macet ria di jalanan kota Jakarta pada saat jam pulang kerja. Namun hari ini aku mengabaikan semua itu karena merindukannya. Karena pulang malam jangan harap bisa menyentuhnya tanpa disertai omelan. Dilayani sih tetap, tapi hanya sekedar kewajiban.
"Kopinya enak, Ma," ujarku setelah menyeruput kopi buatannya seteguk.
Dia menatapku dengan jidat yang dilipat. Heran mungkin, bukannya dari dulu rasa kopi begitu-begitu saja. Apalagi ini kopi instan, tinggal seduh air panas.
Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal, berusaha mengabaikannya. Syukurlah, wanita itu tidak mengomentari apapun. Ternyata begini banget ya, jika si Ujang sudah kebelet.
Setelah selesai makan malam dan sholat Isya aku segera menghalau para kurcaci-ku yang sudah meningkat remaja untuk segera tidur.
"Masih sore kali, Pa." Si Sulung protes.
"Eh, sudah. Jangan ngeyel, tidak baik tidur kemalaman, ntar subuhnya lewat." Akhirnya mereka manut.
Saatnya beraksi!
Aku menggiring istri tercinta masuk ke tempat peraduan, mengabaikan tatapan heran dan pura-pura tidak tahu darinya. Sebelum memulai ritual sengaja dulu berbasa-basi, biar gak terlihat ngebet. Hehe, makan tuh gengsi.
"Ma, teman Papa si Joko udah sukses lho. Bisnis yang kita kelola bersamanya berjalan lancar," kataku mulai membelai rambutnya yang sedikit memutih.
"Sekarang istrinya senantiasa tersenyum, biasanya uang belanja yang hanya dua juta sebulan, belum pertengahan bulan sudah habis sekarang menjadi delapan juta."
"Oh ya, berarti suksesnya dia sukses kita juga dong," sahut istriku berbinar.
"He-eh," aku tergagap. Salah strategi. Perasaan mulai tidak enak, tapi berusaha tidak terpengaruh dengan mengecup bibirnya sekilas.
"Lalu kita kapan?"
Nah lho, aku langsung melepaskan pelukan di pinggangnya perlahan. Gairah yang menggebu tiba-tiba menguap. Aku bukan tidak mau memenuhi harapannya, hanya saja kondisi keluargaku dan Joko jelas berbeda. Daripada dibahas yang ujungnya ribut, mending pura-pura tidur.
"Pah, Papa." Dia menggoyangkan tubuhku perlahan. Diam tak bergeming.
"Orang aneh," dengusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
RandomMerupakan kumpulan dari cerita pendek dari berbagai genre. Cerita yang ringan, namun lumayan menghibur.