Bukan Rezeki Semusim

323 15 4
                                    


Aku tu orangnya paling ceroboh. Yang namanya nyuci main angkut aja semua pakaian kotor. Baik yang ada di keranjang cucian maupun yang masih ngegantung. Kadang yang baru digantung juga malah ikutan nimbrung.

Entahlah, paling malas yang namanya meriksain kantong celana maupun baju kotor. Akibatnya HP, STNK, karcis parkir tak luput pernah ikut muter di dalam mesin. Kalau uang, jan tanya, langganan beud. Kadang 20 ribu, 10 , 50 atau kadang cuma 1000 rupiah. Tergantung rezekinya sih, wkwkwk.

Kali ini sepertinya rezeki gue lagi bagus. Saat akan membilas cucian karena memakai mesin cuci dua tabung, mata gue terbelalak menatap tak percaya ke dalam tabung mesin cuci. Bayangkan Buibu, enam lembar 50 ribuan mengambang dalam mesin cuci.

"Omegad, rezeki emak sholehah."

Secepatnya mengamankan agar tak ada yang menyadari. Kipas-kipas sedikit lalu keringin pake handuk, 300 k Cin, kalau dibeliin bakso Mas Yudi dapat berapa mangkok coba. Dengan rasa syukur yang berlipat pekerjaan menyuci hari ini terasa sangat menyenangkan. Tanpa sadar bibir yang tidak sensual ini bersenandung lala... yeyeye.

Satu hari berlalu, dua hari, seminggu pun terlewati. Kenapa gak ada yang merasa kehilangan. Biasanya Paksu akan selalu ingat sisa uang di kantongnya, meski cuma seribu rupiah.

'Ah, sudahlah. Namanya rezeki mah memang takkan kemana. Tergantung bagaimana caranya mendatangi kita, contohnya yang ini'. 😁😁😝

Sebulan kemudian...

"Kak, aku titip lagi ya, takut kepake kalau sendiri yang nyimpan." Adik bungsuku menyodorkan uang kertas seratus ribuan sebanyak tiga lembar. Biasa, baru terima gaji dia.

"Lagi?" Aku menatapnya bingung.

"Ya elaaah, pasti lupa dah nih. Pan bulan kemarin aku juga titip 300k, uang kertas 50 ribuan enam," sahutnya.

"Jadi itu duit lo, pantasan Abang kagak nanyain. Kirain gue udah dapet rejeki nomplok. Tu duit udah habis gue jajanin. Ini mah namanya bukan berkah, tapi musibah." Aku bersungut-sungut.

"Lha, pan waktu itu aku dah bilang tolong masukin langsung ke dompet. Kakak ngeyel sih, malah ngantongin," sesalnya merengut.

Aku baru ingat, dia ngasih itu uang pas lagi nonton film India yang bikin baper banget. Dil He Tum Hara, kalau gak salah. Pan sayang kalau dilewatkan. Alhasil apa yang ia omong aku jawab anggukan seadanya saja agar ia berhenti bicara. Ganggu konsentrasi, wew.

"Ya sudahlah, lo tenang aja. Duit lo bakal gue ganti kok."

"Ya iyalah, orang Kakak yang ngabisin."

Aku terkekeh. Yang bikin bingung bagaimana bisa aku lupa sampai berbulan? Nyatanya aku sendiri yang ngantongin uang tersebut malam itu.  Pas mandi pagi langsung naruh celana yang bekas pakai di mesin cuci, tanpa memeriksa kantong-kantongnya terlebih dahulu.

Sialnya aku malah merasa dapat rezeki nomplok, girang bukan main karena tak ada yang bertanya. Harusnya aku sadar mana ada rezeki yang datang dari langit tanpa usaha?

Apa yang pasti rezeki itu bukanlah milikku, hanya karena takut diakui aku memutuskan untuk tidak bertanya pada siapapun. Bagaimana kalau semua mengaku itu uang miliknya, kan aku juga yang pusing. Pikiran yang tidak seharusnya dilestarikan, apalagi pada keluarga sendiri.

Sekian.

30062018

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang