Bukan Lelaki Pilihan

456 27 8
                                    


Dek, minggu depan ngaji di mana?"

"Di rumah Ibu Diah, Kak. Kakak bisa, kan? Kita gak nyari ustadz lain lagi lho."

"Inshaa Allah, ya."

"Gak pake Inshaa Allah ah, iya gitu. Ntar ibu-ibu marahnya ke aku lho kalau Kakak gak datang," sahut Dian cemberut.

Laki-laki itu terkekeh.

"Kalau janji itu ya harus pake Inshaa Allah, Dek. Jika Allah mengizinkan," sahutnya.

"Tapi Kakak datang, kan?"

"Inshaa Allah."

"Ya udah, aku cari ustadz lain."

Dengan sedikit mengentakkan kaki Dianti melangkah ke dapur, meninggalkan si pemuda yang masih melongo. Lima menit kemudian ia pun menyusul, seperti dugaan gadis manis itu. Dia tidak akan betah walau cuma lima menit didiamkan Dianti.

"Dek, kalau lagi marah bisa lihat kuping ndiri gak?" Ia berdiri di samping wanitanya sambil mengulum senyum.

"Ngapain ke sini? Jangan dekat-dekat, bukan muhrim. Mau disiram air panas?" serang gadis itu galak.

"Ya ampun, calon istriku galak amat."

Dianti menyembunyikan senyum yang tiba-tiba hadir. Kupu-kupu serasa memenuhi dan beterbangan di perutnya saat mendengar kata 'calon istri' dari bibir laki-laki tampan itu. Dua kata yang sangat ampuh meredakan amarah. Wanita mana yang tidak senang diakui sebagai calon istri oleh lelaki yang dicintainya.

------

Kak Firman, begitulah Dianti memanggilnya. Seorang mahasiswa Tarbiyah yang lagi KKN di desanya. Sebagai salah satu pengurus Karang Taruna, tentu saja Dianti turut andil dalam kegiatan yang mereka adakan di desa ini. Karena bagaimanapun kumpulan mahasiswa itu perlu didampingi oleh masyarakat setempat.

Selain itu, Dianti yang baru lulus sekolah menengah atas dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, pada saat itu juga tengah menganggur. Untuk mengisi hari-hari, gadis berambut panjang itu dan beberapa pemuda mengaktifkan kembali Karang Taruna yang sudah lama sekali vakum.

Dari sana kedekatan itu mulai terjalin. Awalnya hanya sebatas antara tamu dan tuan rumah. Namun karena intensitas pertemuan yang cukup padat, debar itu mulai terasa saat tanpa sengaja mata mereka saling menatap.

Sedapat mungkin gadis itu mengabaikan rasa yang kian hari kian mekar. Ia cukup tahu diri, mana mungkin seorang mahasiswa, keren, dan memiliki ilmu agama yang cukup akan memilih seorang gadis desa yang hanya lulusan SMA dan bergaya sedikit urakan.

Jangankan berkerudung, pakaian sehari-hari gadis itu di rumah adalah kaos oblong lengan pendek, celana jean's yang telah dipotong hingga lutut dan dibiarkan bulu-bulu bekas potongannya terurai tanpa dijahit. Palingan sesekali menggunakan rok yang paling panjang sebetis. Hanya pada saat pengajian barulah ia berbusana muslimah lengkap.

Firman selain mahasiswa Tarbiyah sebelumnya dia juga telah mengaji di surau. Istilah untuk orang yang mondok di pesantren tradisional. Al-Quran, Hadits, kitab kuning sudah jadi makanannya sehari-hari.

Mengetahui hal itu kekaguman Dianti padanya kian hari kian bertambah. Tapi sekali lagi hanya kekaguman, tak lebih. Sebab ia juga tahu salah seorang rekan putri pemuda itu menyimpan rasa pada Firman.

Meskipun tak ada yang memberi tahu, gadis itu tidak terlalu bodoh untuk memahami bahasa tubuh yang ditunjukkan si penggemar rahasia Firman. Ia hanya mengamati, Sepertinya Firman tak menyadari atau sengaja pura-pura tidak tahu tentang semua itu. Laki-laki itu hanya bersikap biasa, sama sekali tak ada perlakuan yang istimewa. Sikap yang berbeda justru dia perlihatkan terhadap Dianti. Bahkan secara terang-terangan.

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang