Aku mengucapkan salam, menoleh ke kanan, kemudian ke kiri sambil mengusap wajah. Kegiatan yang rutin dilakukan di ujung sepertiga malam kami. Dan meraih tangan lelaki yang telah menjadi imanku hampir enam bulan ini. Lelaki itu menyambutnya penuh senyum sambil mengecup pucuk kepalaku dalam.
"Apa yang dirasa?" Mas Dafa bertanya lembut, saat melihatku meringis ketika mau bangkit.
Lelaki dengan gamis putih itu segera membantu. Dia membimbingku hingga ke ranjang.
"Sedikit nyeri, Mas. Sepertinya si Dedek ikutan bangun," sahutku tersenyum. Yang dibalas wajah semringahnya.
"Ooh, kirain udah mau lahiran."
"Mungkin kitaran dua minggu lagi, Mas," jelasku.
Mas Dafa meletakkan telapak tangannya dan mengusap perutku perlahan. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dibacanya.
Setitik air mata haru membuncah. Rasa syukur yang tidak terhingga karena Allah telah mengirimkan seorang lelaki baik dalam hidupku.
Lelaki yang menyelamatkan harga diri dan kehormatan seorang wanita nista sepertiku. Pernikahan yang dengan tulus dia berikan agar Mas Dafa bisa menjaga kami.
Aku dan calon bayi ini.
Kalau ada hal yang paling aku sesali dalam hidup, itu sudah pasti mengenal pria tak bertanggung jawab yang telah menanam benih di rahimku.***
Mataku membulat sempurna, tak percaya dengan pandangan sendiri. Test kehamilan di tanganku menunjukkan dua garis berwarna merah. Setelah hidup bergelimang maksiat baru kali ini penyesalan menghampiri. Menyesal, kenapa aku begitu ceroboh? Harusnya aku selalu mengingatkan Aldo, agar lelaki itu tak lupa untuk pakai pengaman setiap kali kami bercinta. Kalau sudah begini apa yang harus kulakukan?
Kukeluarkan sebatang rokok putih yang hanya tinggal sebatang. Dan membuang bungkusnya ke keranjang sampah di sudut kamar yang hanya berukuran dua kali tiga meter. Menghisap nikotin itu cukup menenangkan. Aku membuang asapnya perlahan. Menikmati setiap isapan, sambil memikirkan jalan keluar dari masalahku.
Benda laknat ini telah menjadi teman setiaku selama lebih dari dua tahun. Bukan itu saja, narkoba juga bukanlah hal yang asing bagiku. Terlebih setelah Aldo hadir dalam kehidupan ini, pesta shabu, sek bebas merupakan hal yang lumrah. Beruntung aku tak pernah gonta ganti pasangan, sehingga aku tidak perlu mempertanyakan siapa ayah dari cabang bayi yang bersemayam di rahimku.
"Al, gue hamil," kataku ketika menjumpai laki-laki itu di kampus.
"Apa?? Lo jangan bercanda, Rin." Aldo terlihat gugup.
"Siapa yang bercanda? Gak penting banget hal seperti itu gue candain," sahutku sambil mengerling malas.
"Dan lo harus tanggung jawab," lanjutku.
"Gue?" Aldo menunjuk wajahnya.
"Lo gila ya? Gak mungkin lah! Gue belum niat untuk menikah!" sahutnya sarkastik.
"Tapi ini bayi lo, jangan mau enaknya aja."
Laki-laki tak berperasaan itu terkekeh.
"Jangan lupa, gue gak pernah maksa lo." Ia menekankan.
Dasar bajingan.
"Artinya lo mau lari dari tanggung jawab?" Aku mulai kesal.
Aldo mendengkus.
"Lagi pula gue gak yakin kalau bayi itu anak gue," sahutnya tak berperasaan.
"Maksud lo, apa?" Aku menatapnya gusar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
CasualeMerupakan kumpulan dari cerita pendek dari berbagai genre. Cerita yang ringan, namun lumayan menghibur.