Yang Terpilih

529 19 0
                                    

Lulus sekolah menengah atas aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri yang cukup terkenal di kotaku. Dimana menjadi awal perkenalan dengan seorang pemuda yang katanya tampan dan baik. Kenapa katanya? Karena aku seorang penyandang tunanetra. Yang hanya bisa menggambarkan sosok laki-laki itu melalui cerita teman-teman. Entahlah!

Dia seorang mahasiswa semester 5 dan juga seorang penyandang tunanetra. Sementara aku baru masuk semester 1. Sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan. Karena intens nya pertemuan dan perasaan senasib tanpa disadari membuat hubungan kami lumayan dekat. Jalan, diskusi bareng atau hanya sekedar makan dan mengobrol sudah menjadi hal biasa bagi kami.

Satu yang kurang aku suka dari pemuda itu adalah sifatnya yang suka iseng. Sepertinya menggangguku menjadi hobi baru baginya. Mengirim pesan singkat yang nyeleneh, hingga tak jarang membuatku kesal. Namun ia tak peduli, terus saja mengganggu hingga aku pun mengabaikan.

"Maaf, Mas. Aku gak bisa," tolakku tegas ketika akhirnya lelaki itu mengungkapkan rasa. Hal yang sama sekali tak terpikir olehku. Saat itu setahun setelah perkenalan kami.

"Kenapa?" Ia menjawab gusar.

"Karena aku tidak mencintaimu."

"Bukannya selama ini kita cukup dekat. Aku yakin kok kamu juga menyukai aku, hanya saja belum menyadari." Pemuda itu masih keukeh.

"Tidak Mas, kamu mungkin telah salah paham. Aku memang menyukaimu, tapi hanya sebatas teman, atau lebih tepatnya sebagai saudara."

"Tapi kita bukan saudara."

"Aku tau, tapi maaf aku benar-benar gak bisa."

Dengus kesal laki-laki itu terdengar nyata di telingaku. Mungkin ia marah atau bahkan akan membenciku setelah ini. Tapi itu lebih baik daripada aku harus berpura-pura yang pada akhirnya hanya akan menyakiti kami berdua.

"Maaf, Mas. Aku harus pergi, masih ada satu mata kuliah sore ini."

Tanpa menunggu jawabannya aku bangkit dan melangkah cepat meninggalkan kantin. Setahun berada di kampus ini cukup membuatku hafal seluk beluknya. Karena tergesa-gesa tak ayal kakiku menyenggol kaki kursi.

Hampir aja aku tersungkur, namun secepatnya bisa menguasai diri. Malu? Pasti! Karena ku yakin bukan hanya kami yang berada di tempat ini. Namun aku tak peduli. Yang aku ingin secepatnya enyah dari hadapannya.

Waktu berlalu cepat, hampir tiga bulan ini laki-laki bersuara bass itu benar-benar menghilang. Ternyata penolakanku tempo hari  sangat menyinggung perasaannya.

Hingga suatu pagi ....

Teng! Sebuah notif pesan di Android mengusik tidurku.

'Assalamualaikum'. Aplikasi Damayanti langsung membacakannya ketika aku membuka pesan tersebut.

Deg!

Sedikit perasaan aneh menyelinap di kisi-kisi jantung ini. Antara percaya dan tidak. Kesambet apa dia hingga tiba-tiba kembali menghubungi?

Balas ..., tidak! Balas ..., tidak! Batin ini bergolak. Akhirnya kuputuskan untuk mengabaikan.

'Dosa lho gak jawab salam'.
Satu pesan kembali menyapa. Dia memang selalu punya cara agar tidak diabaikan.

'Ya, ada apa?'

'Kok jawabnya gitu? Waalaikum salam dong!'

'Waalaikum salam'. Send. Meskipun rada ogah-ogahan. Gemes.

Dia kembali mengirim banyak pesan meski tak satupun yang mendapat jawaban lagi. Ternyata sikapku sama sekali tak mematahkan semangatnya, hingga pada akhirnya aku pun menyerah. Bukan karena aku mulai menyukainya. Hanya saja tidak tega, toh selama ini dia selalu bersikap baik. Dan kami pun kembali dekat. Sama saat awal perkenalan.

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang