SYAHRINI

293 12 0
                                    


FlashFiction

Tak seperti ibunya, empat anak Syahrini suka buang hajat di sembarang tempat. Jelas saja hal ini buat Emak gerah. Ngomel panjang pendek gak karuan.

"Syahrini, ajarin anak-anak lo tu, kalau buang hajat jan merata-rata. Pan gue ribet bersihin."

Syahrini diam, hanya matanya yang menatap tanpa kedip.

"Dengar gak?!" teriak Emak mulai tak sabar.

Ya elah, bukannya ngajarin anaknya Syahrini malah ngelondot dan duduk di pangkuan. Kalau sudah begini, siapa coba yang tega marah. Alhasil, Emak pun meleleh dengan sikapnya.

Namun tidak hanya sampai di situ, kejadian yang sama kembali berulang dan berulang. Ucapan si Emak mending masuk telinga kanan keluar telinga kiri, setidaknya masih sempat lewat di kepala. Ini malah enggak, masuk kanan, mental, keluar lagi. Tentu saja hal ini bikin Emak jengah.

Hingga puncaknya pada suatu hari.

"Pak, entar ke Giant ajak Syahrini ama anak-anaknya ya?" ujar Emak pada sang suami. Niatnya mau belanja kebutuhan bulanan. Namun sebuah rencana sudah tersusun di kepala si Emak.

"Emang Syahrini mau?"

"Kita coba aja."

Setelah semua rapi dan siap berangkat, Syahrini dan anak-anaknya pun diajak. Awalnya mereka menolak, bahkan ada salah satu anak Syahrini yang ngumpet, keukeh gak mau ngikut. Namun apa daya, mereka tak punya pilihan lain.

Di mobil Syahrini dan anak-anaknya meringkuk di pojokan. Wajah mereka terlihat tegang.

"Tenanglah kalian, semua akan baik-baik saja kok, jan khawatir," bisik Emak mengelus kepala Syahrini yang menatap dengan mata berkaca. Emak membuang muka, sudah dipastikan menatap Syahrini lebih lama akan membuat ia berubah pikiran.

"Kita sampai...," teriak si Emak cempreng begitu mobil selesai di parkir.

"Ayo turun!" lanjutnya setelah membuka pintu.

Satu persatu anak-anaknya berhamburan turun. Tapi tidak dengan Syahrini dan anak-anaknya. Mereka malah ngumpet di pojokan.

"Ayo Syahrini, turun! Emak yakin, di sini kamu dan anak-anak akan jauh lebih baik."

Syahrini makin mengkerut. Tega gak tega, Emak memaksanya turun. Pegangannya yang kuat pada jok pun terlepas.

"Kamu yakin ia akan baik-baik saja di sini?" tanya suami Emak. Sementara anak-anak Emak telah ngacir duluan.

"Pastilah, sebentar lagi juga bakal ada yang ngambil. Kan gak jauh dari sini ada tempat penangkaran mereka. Para relawan di sana sengaja memungut kucing-kucing tidak bertuan yang berkeliaran di jalanan," sahut Emak.

"Ya sudah kalau gitu."

Mereka pun berjalan meninggalkan area parkir. Sesampai di atas Emak berubah pikiran. Suara mengeong Syahrini dan anak-anaknya saat ditinggalkan tak mau hilang dari kepala Emak. Ditambah tatapan memelas Syahrini yang selalu terbayang di pelupuk matanya.

Secepat kilat wanita itu berbalik. Ia sayang Syahrini dan anak-anaknya, walau seberapa menyebalkan kelakuan mereka.

"Ayo, buruan Pak, semoga mereka masih di sana."

Tapi apa?

Di parkiran telah sepi. Syahrini dan anak-anaknya telah diamankan. Entah oleh siapa. Emak terhenyak. Penyesalan yang berlipat-lipat menyesakkan rongga dadanya.

Kalau tidak malu ia ingin nangis bombay di sana. Kenapa penyesalan itu selalu datang terlambat?

"Dimana pun engkau berada, semoga baik-baik saja Syahrini. Emak sayang kalian, dan Emak menyesal, sangat," lirihnya.

Wanita itu mengelap bening di sudut mata dengan ujung lengan bajunya. Berdamai dengan diri sendiri ternyata tidak mudah, terbukti hingga saat ini rasa sesal itu terus membelenggu, meski kejadiannya sudah berlalu bertahun-tahun.

Tamat

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang