BERKAH

392 24 2
                                    


"Ma, bayar PM hari ini, 150 ribu," ujar si Sulung  mengawali pagi.

"Aku juga Ma, bayar uang bimbel bulan ini." Putri kedua nyeletuk.

"Hari ini Abang berenang, Ma. Wajib ikut karena ngambil nilai," sela anak ketiga.

"Mamaaa, jajan aku?" Ya elaah, bungsuku ikut-ikutan. Bibirnya yang bulat kecil dimonyongkan. Gemes. Hanya putra keempatku yang anteng. Karena memang ia belum butuh.

Kulirik Ayang Beb yang hanya nyengir di pojokan sambil menikmati secangkir teh hangat, sebelum berangkat ke kantor. Kalau sudah begitu artinya ia tak punya uang di dompet. Paling-paling hanya cukup buat isi tangki motor sama isi lambung pada jam makan siang nanti.

Fix, tak ada jalan lain. Harta Karunku harus dibongkar. Karena aku sangat paham kebiasaan suami, tak perlu diingatkan jika menyangkut tanggung jawabnya.

"Emang kudu bayar sekarang ya?" tanyaku menanggapi permintaan anak-anak.

"Ya iyalah, Ma. Ini aja udah telat," sahut si Kakak, diamiinin adik-adiknya.

Aku merogoh kocek yang diikat pada tali kutang ( eh, gak ding, hoax) dan membukanya perlahan. Alhamdulillah, masih ada beberapa lembar mawar merah.

Dan mulai membaginya pada anak-anak sesuai kebutuhan masing-masing. Tersisa empat lembar. Mungkinkah bisa bertahan sampai akhir bulan? Sementara waktu belum berjalan satu minggu.

Sedangkan besok juga ada arisan pengajian ibu-ibu yang kebetulan aku menjadi tuan rumah.

"Apa dibatalkan saja ya? Biar anggota lain saja yang duluan." Sempat terpikir demikian. Namun hati kecil menolak. Bismillah, Inshaa Allah ada jalannya.

Siangnya aku langsung berangkat ke pasar, membeli segala kebutuhan buat memasak dan juga beberapa macam buah-buahan untuk pencuci mulut.

Merasa cukup, dengan mengendarai motor butut kesayangan aku kembali ke rumah. Buka dompet, ternyata masih ada sisa selembar, tapi bukan mawar merah lagi, entah karena kesedihannya sudah gak punya teman, warnanya berubah menjadi biru, hiks ...

Ya sudahlah, masih mending tersisa. Kalau kurang gimana? Masa ia aku harus guling-guling di pasar? Wakakak.

Keesokan harinya ....

Acara berjalan lancar meskipun pagi sempat diguyur hujan. Rata-rata mereka pada datang terlambat, bahkan keduluan guru ngaji. Ya begitulah ibu-ibu, justru aneh kalau mereka on time, hihihi.( Ma'af ya emak-emak)

Tidak berapa lama selesai acara, Ayang Beb pulang dengan wajah letih. Namun sesungging senyum menghias wajahnya. Rasanya mustahil jika hanya karena secangkir teh hangat suguhanku wajahnya demikian cerah. Dan senyumnya makin lebat.

Namun aku gak mau kepo, bukan gak mau sebenarnya, tapi gak sempat, repot gaes 😃😃. Mungkin saja ia baru naik jabatan, Aamiin. Meski kutahu belum waktunya sih, tapi tak ada salahnya berharap kan?

"Ma, sini dulu!" Suara bass laki-laki yang telah menghabiskan hampir 17 tahun dari sisa hidupnya bersamaku itu menggema.

Ia lagi tengah mengistirahatkan diri di peraduan kami.

"Ya, Pa," sahutku mendekat setelah bersih-bersih.

Lelakiku itu menepuk ranjang di sebelahnya. Sebagai isyarat memintaku untuk duduk di sana. Ia mengeluarkan sebuah amplop dan menyodorkannya padaku.

"Apa ini, Pa?"

"Amplop."

"Ih, itu mah aku tau."

"Terus ngapain lagi nanya?"

Aku mencubit pinggangnya gemes, ayah anak-anakku itu terkekeh.

"Alhamdulillah, ada sedikit rezeki, Ma," ujar beliau setelah tawanya reda.

"Dari mana, Pa?"

Sudah menjadi kebiasaanku, setiap kali terima uang selain dari gaji akan mempertanyakan sumbernya dari mana? Kenapa? Entahlah! Rasanya lebih plong saja.

"Uang tim bulan kemarin. Baru dibayarkan tadi," sahutnya menatapku.

Uang tim itu dibayarkan pada para pegawai yang mendapat tambahan pekerjaan. Baik itu di lingkungan atau pun di luar kantor. Bahkan tak jarang juga di luar kota.

Kalian tahu gaes? Sebesar apa rasa syukur ini? Yang pasti tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rezeki yang sama sekali tidak disangka-sangka. Dan jumlahnya berkali-kali lipat dari kemarin yang aku belanjakan.

Alhasil uang arisan yang aku terima bisa diamankan untuk sementara waktu. Setidaknya sampai ada hal mendesak lainnya. Mungkin saja besok atau lusa ada jerawat yang minta didempul. Atau ada abang-abang yang lewat bawa buntalan kayak baru saja diusir istri dari rumah. Apalagi isinya kalau bukan jeroan. Gak mungkin kan, pegang-pegang, jajal sana jajal sini, terus tinggal pergi, haks ....

"Alhamdulillah, terima kasih, Pa. Semoga Allah memberi keberkahan atas rezeki ini," ujarku sambil memeluknya berbinar. Ya iyalah, uang gaes.

"Aamiin," sahutnya dengan tatapan yang ... entah!

"Apa?" tanyaku, pura-pura gak peka.

"Pijit dong! Tulang belikat, pegel nih."

"Yaaah Papa, yang capek itu Mama, Pa. Dari pagi belum istirahat." Kenapa coba harus ada embel-embel setiap kali habis nyetor uang, minta nyetor 'itu'. Menyebalkan!

"Tapi ini beneran pegal, Ma. Kayaknya masuk angin deh." Tatapannya memelas.

"Hanya pijit ya?" dengusku.

"Ya iya lah. Emang kamu pikir ngapain?"

Duh, aku tercyduk! Ternyata yang mikir kejauhan itu aku, wkwkwk.

"Ya sudah ... buruan! Sebelum berubah pikiran nih," sahutku sedikit cemberut. Biasa, buat nutupin rasa malu. 😂😂😂

Dalam hati tak henti-hentinya bersyukur, walau hidup seadanya yang paling penting diantara kami saling mengisi dan memahami. Pun dengan rezeki, bukan berapa banyak yang didapat, tapi seberapa berkah rezeki yang diperoleh.

Tetaplah bersyukur, jangan lupa bahagia.

Tamat

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang