Jodoh Takkan Tertukar

426 26 9
                                    


Malam ini udara terasa dingin, menyengat hingga ke tulang sumsum. Aku menatap langit yang dipenuhi bintang dengan perasaan hampa. Sudah lebih dari satu jam aku masih betah berdiri di depan jendela kamar yang sudah mulai keropos dimakan rayap.

"Belum tidur?" Suara ibu mengagetkanku.

"Belum ngantuk, Bu," sahutku singkat.

"Ada apa, Nak? Sejak kepulanganmu seminggu yang lalu, Ibu lihat ada sesuatu  yang kamu sembunyikan." Wanita paruh baya itu mendekat, mengelus punggungku lembut.

Sesaat aku menatap wanita surgaku itu. Satu-satunya orang tua yang masih kumiliki. Ada perasaan bersalah tatkala menyadari sinar mata itu kian meredup. Selama ini aku adalah tulang punggung keluarga. Suatu keputusan yang sulit saat memutuskan untuk resign dari pekerjaan.

"Bu, ma'afkan Ifa ya. Ma'af telah membuat Ibu khawatir, tapi Ifa baik-baik saja kok," sahutku. Kemudian menutup pelan daun jendela.

"Hanya saja ke depannya mungkin kita akan sedikit kesulitan masalah keuangan. Tapi Ifa akan secepatnya mencari pekerjaan sebelum tabungan kita benar-benar menipis," lanjutku memeluk wanita terkasih itu.

"Maafkan Ibu juga, tak seharusnya beban keluarga ini disandarkan di pundakmu. Kau masih sangat muda untuk memikul tanggung jawab sebesar ini. Namun percayalah, Nak. Pengorbananmu tidak akan sia-sia." Ibu balas memelukku erat.

"Dan satu lagi, kalau ada masalah jangan disimpan sendiri, kamu tahu kan Ibu sayang banget sama kalian berdua. Hanya kalian yang Ibu punya di dunia ini," sendu wanita itu.

Hatiku merasa tersayat. ibu benar, hanya aku dan Refan yang jadi pelengkap kebahagiaannya setelah kepergian bapak setahun yang lalu. Bukan aku tidak mau terbuka pada ibu, hanya saja aku tak mau menambah beban pikirannya. Refan lah satu-satunya bagiku tempat berbagi duka. Sekarang adik lelakiku itu tengah menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini.

Sakit ini kian menghujam mengingat minggu depan aku harus mengirim suntikan dana untuk keperluan kuliah dan biaya hidupnya sehari-hari sebagai anak kost. Tanpa sadar aku menghela nafas berat.

"Namanya orang hidup pasti ada masalah, Bu. Gak usah terlalu dipikirkan,  Inshaa Allah Ifa masih bisa mengatasi. Ibu jangan khawatir ya?" ujarku tersenyum. Berharap ibu percaya kalau semuanya memang baik-baik saja.

"Ya sudah, kalau gitu. Tidur gih, ini sudah terlalu malam. Takut nanti subuhnya kesiangan." Ibu mengusap pucuk kepalaku, kemudian berlalu, kembali ke kamarnya.

---------

Aldo, kenapa laki-laki itu harus hadir dalam kehidupanku? Karenanya aku rela meninggalkan pekerjaan yang telah digeluti lebih dari dua tahun ini. Menjadi tangan kanan seorang pengusaha butik ternama di kota Jakarta. Padahal dari hasil itu aku menghidupi keluarga ini.

"Kenapa kamu melakukan ini padaku? Kumohon menjauhlah! Kamu itu tunangan orang lain. Sadarkah sikapmu ini menyakitkan untuk kita bertiga?" ujarku lelah.

Lelah dengan sikapnya yang tidak gampang menyerah, meski telah ditolak belasan kali.

"Beri aku satu alasan agar berhenti mengejarmu!" Lelaki itu keukeh.

"Alasan seperti apalagi, Bang? Apa hubunganmu dengan Saskia tidak cukup untuk menjadi suatu alasan?" Nada suaraku meninggi.

"Aku telah putus dengan Saskia."

"Segampang itu?" sinisku.

"Aku tidak mencintainya. Kami dijodohkan!"

"Tapi kamu menerimanya."

"Itu karena kita belum saling kenal. Setelah mengenalmu aku tau, cinta ini milikmu Ifa. Aku jatuh cinta padamu."

"Tapi aku tidak!"

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang