Aku bergegas menuju pintu keluar saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan."Belum tidur?" Radit menyapaku lembut saat pintu terbuka dan ia melihat keberadaanku.
"Belum, Mas, sengaja menunggumu."
"Oh ya?" Ia menatap dengan pandangan penuh tanya. Heran mungkin, karena tidak seperti biasanya.
Aku mengangguk.
Ia menyelipkan diri di sela kedua daun pintu yang terkuak dan melangkah ke ruang tengah. Aku mengikuti langkahnya setelah kembali mengunci pintu.
"Kamu udah makan, Mas?" tanyaku lagi.
"Udah, tadi di kantor," sahutnya sambil melepas dua kancing kemeja teratas.
"Oooh." Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku.
"Tidur gih! Udah malam!" ujarnya setelah melirik jam dinding yang memang telah menunjukkan pukul sepuluh.
"Kamu?"
"Sebentar lagi, ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan."
Aku kembali ber 'oo' ria.
"Mau dibikinin minum?" tanyaku lagi ketika ia akan melangkah menuju kamar tamu.
"Tidak, terima kasih."
"Oh ..., ya sudah." Setelah mengedikkan bahu aku pun berlalu ke kamar.
Pernikahan kami baru berusia satu bulan. Namun hubungan kami tidak seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Bahkan hingga detik ini aku dan Mas Radit masih tidur di kamar yang terpisah.
***
Sejujurnya ini bukanlah pernikahan yang aku impikan. Di usia yang hampir memasuki seperempat abad, aku tak punya pilihan selain mengikuti keinginan orang tua, untuk menerima perjodohan ini.
"Dia anak yang baik, jelas bibit, bebet dan bobotnya. Selain itu dia juga telah matang secara usia dan yang terpenting dia mapan."
"Tapi Bu ... ini bukan lagi zamannya Siti Nurbaya. Menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenal? Ibu ngigau ya?" sahutku sarkastis kala itu.
"Ok, Ibu tidak akan paksa kamu. Tapi dengan satu syarat. Ibu beri waktu kamu sampai bulan depan, untuk membawa seseorang ke sini sebagai calon suamimu," sahut Ibu dengan nada naik beberapa oktaf. Mungkin darahnya mendidih mendengar sahutanku.
"Ya gak mungkinlah, Bu. Emang Ibu pikir nyari pacar itu kayak beli baju di pasar. Suka, bayar lalu bawa pulang." Aku mendumel.
"Nah, itu kamu tau. Makanya jadi anak itu nurut. Percaya deh! Ibu yakin ia jodoh terbaik untukmu." Suara Ibu kembali melembut. Berusaha membuatku mengerti. Karena saat waktu yang diultimatum tiba sementara aku tidak punya pilihan, akhirnya pernikahan itu pun terjadi.
Ada satu hal yang membuat aku tak habis pikir, kenapa lelaki setampan Mas Radit sama sekali tak membantah perjodohan ini? Dilihat dari sisi mana pun ia layak untuk diperebutkan banyak wanita. Jelas alasan tidak punya pilihan sepertiku tidak akan berlaku untuknya. Aku yakin sekali akan hal tersebut.
Satu bulan setelah acara pertunangan, pernikahan digelar dengan sangat meriah. Tentu saja. Sebagai anak tunggal, pernikahan ini adalah impian seluruh keluarga besarku.
***
"Assalamu'alaikum." Suara bass-nya saat masuk kamar untuk pertama kali membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat, takut. Aku merapatkan selimut yang menutupi tubuh. Saat menoleh ke pintu, untuk pertama kalinya aku benar-benar menatap wajah lelaki yang telah resmi menjadi imamku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
RandomMerupakan kumpulan dari cerita pendek dari berbagai genre. Cerita yang ringan, namun lumayan menghibur.