Tragedi Tempe Goreng

716 18 6
                                    


Mungkin memang salahku jika harus berakhir seperti ini. Berbulan-bulan mereka direpotkan oleh ulahku yang memang nyebelin. Selama ini aku enjoy saja karena berpikir tak ada masalah dengan mereka.

Dengan sewenangnya aku berbuat apa saja, yang penting aku senang, aku kenyang. Tak peduli apapun akibatnya bagi orang lain. Dengusan sebel, omongan baik, kuanggap angin lalu yang tak penting. Ini hidupku, hakku, apa hubungannya dengan kalian.

Namun ungkapan kesabaran ada batasnya ternyata benar banget. Meski aku tak pernah tahu dan tak mau tahu. Karena itu bukan urusanku.

Malam ini seperti biasa, aku kembali meronda. Mengacak dan mengobrak-abrik apa saja yang kulewati. Bukan hanya mencari makan, tapi juga melepaskan penat karena seharian berusaha menyembunyikan diri agar keberadaan ini tidak disadari.

Sambil celingukan kiri kanan memastikan apa tak ada lagi yang terbangun aku merangsak keluar dari peraduan. Lega.

"Saatnya beraksiiii," desisku.

Dengan girang aku mulai melompat, mengendus dan mencicipi hidangan apa saja yang sekiranya bisa dinikmati. Syukur-syukur ada nasi, lauk pauk dan sayur-mayur lengkap. Ditambah buah-buahan dan segelas susu.

"Hmmm, yummy."

Membayangkannya saja membuat air liurku meleleh. Berharap si nyonya rumah lalai hari ini. Sehingga apa yang ada dalam angan menjadi kenyataan.

Dengan berusaha melompat sepelan mungkin, aku mulai beraksi. Menjejaki setiap sudut dapur bahkan sampai ke ruang tamu. Tentu saja masih menjaga kewaspadaan. Bisa tamat riwayatku kalau si empunya rumah terbangun dan aku ketangkap.

Sepertinya hari ini si nyonya rumah lagi rajin. Jangankan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya, meski hanya sisa. Tak ada apapun yang kutemukan untuk mengganjal perut, bahkan sepotong roti sekalipun.

"Dasar si empunya rumah pelit."

Aku mendumel, meski hanya dalam hati. Karena kesal aku mulai melompat ke kichen set. Sebelah kakiku menyenggol tempat bumbu kering.

Gubrakk!

Benda itu menggelinding, jatuh persis di samping kompor gas.Terguling, dengan semangat aku mulai mengintip, kosong.

"Dasar kere," makiku. Lagi-lagi membatin.
Sementara cacing di perut mulai tak sabar. Parasit yang satu itu selalu saja membuatku jengah.

Perasaan tak sabar mulai menggayut, harapan untuk mendapatkan secuil makanan yang makin tak terkendali membuatku kalap. Aku melompat ke sana ke mari. Hingga banyak barang yang berpindah dari tempatnya.

Mungkinkah malam ini aku harus puasa? Di tengah keputus asaan, mata liarku menangkap sepotong tempe goreng dalam sebuah rumah mungil yang indah. Sinarnya yang tadi hampir meredup kembali memancar.

"Rezeki takkan kemana."

Aku mulai mendekat, pelan. Naluri pencuriku mulai terpancing. Tak peduli itu milik siapa, yang terpenting saat ini, makanan itu sangat- sangat menggugah selera. Senyum lebar menghias bibirku.

"Alangkah bodohnya mereka," pikirku.

Bagaimana tidak? Mereka menyimpan makanan dalam tempat transparan bahkan berlubang-lubang dengan posisi yang menggantung, menggugah selera siapapun yang melihat. Terutama aku yang dalam keadaan kelaparan, karena memang tak ada istilah kenyang dalam kamusku. Paling tidak memuaskan sifat yang suka icip-icip.

Aku mengelilingi benda tersebut. Nice! Tak sulit menemukan pintu masuk. Tanpa pikir panjang, dengan tetap mengendap tentunya, agar tak ketahuan si pemilik, aku mulai beraksi. Mulai mengendus aroma yang memancing gairah untuk segera melahap.

Perlahan gigi tajam milikku yang lebih mirip gergaji, mulai menggerogoti. Lebih cepat lebih baik, agar aku bisa segera kembali ke peraduan.

Mungkin karena terburu-buru si tempe bergoyang saat digerogoti.

Cepret!

Aku kaget bukan main, pintu yang tadinya terbuka lebar tertutup dengan sendirinya. Aku mulai panik, tak peduli lagi dengan potongan tempe yang telah jatuh dekat kaki. Benda itu sudah tak menarik lagi.

Yang kulakukan hanya mencari celah, berpikir bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini. Tak habis pikir bagaimana pintu yang tadi terbuka lebar bisa tertutup dengan sendirinya? Mungkinkah selain aku ada makhluk lain sekitar sini? Kalau ada tolong, muncullah! Diri ini butuh pertolongan.

Namun sepertinya do'a dan harapan ini hanyalah suatu kesia-siaan. Tak ada satupun yang berniat membebaskanku. Sepanjang malam aku hanya meronta, menyesali perbuatan rakus yang selama ini dipelihara.

Lelah meronta, mengendus, menggigit, rasa lapar kembali menyerang. Lagi pula, sudah kepalang tanggung. Akhirnya kuputuskan untuk menghabiskan potongan tempe tadi, meski rasa nikmatnya sudah tidak dirasa karena galau sudah berada di level akut.

Menjelang pagi, si empunya rumah terbangun. Wajahnya berseri sekaligus jijik ketika melihatku.

"Kena kan lo, dasar pengacau." Dia mulai memaki.

Ucapan itu membuatku sadar, ternyata aku telah masuk dalam perangkap nya. Ini jebakan, kenapa aku begitu bodoh?

Menyesal? Tentu saja! Namun sudah sangat terlambat, suka atau tidak mereka akan mengeksekusiku.

"Mama, malangnya nasib anakmu ini," gumamku.

Rasa takut yang amat sangat membuat air mata ini meleleh tanpa disadari. Tragis! Riwayatku berakhir karena sepotong tempe goreng.

Tamat.

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang