Yang Terkasih Yang Tersisih

620 23 7
                                    


"Laloklah Nak, pejamkan mato. Lah panek Bundo maayun, Nak kanduang alun lalok juo."*

Masih terngiang nyanyian itu Bu, saat dirimu menina bobokan adik- adikku. Tentu saja nyanyian yang sama juga kau dendangkan untukku. Meski aku tak mungkin bisa mengingatnya secara jelas, karena umumnya anak yang masih tidur dalam buaian* paling lama sampai umur dua tahun kan, Bu. Nada suaramu yang lelah masih terdengar merdu di telinga. Meskipun itu telah berlalu berpuluh-puluh tahun.

Tahukah dirimu Ibu, kau tak perlu mengerti apa itu tangga nada, tak perlu belajar bagaimana mengucapkan vokal yang bagus. Dan tak perlu tahu apa itu pic kontrol, karena tanpa itu semua nyanyian ibu sudah sangat merdu. Bahkan seorang Mbak Trie Utami pun takkan berani menegurmu. Kenapa? Karena nyanyian ibu tanpa cela.

"Cepatlah kau besar, Nak, agar bisa bantu ibu berbenah, memasak dan membantu menjaga adik-adikmu."

Begitu sederhananya harapanmu Ibu. Bagimu dan bapak yang terpenting bisa melihat kami anak-anakmu tumbuh dengan sehat, itu sudah lebih dari cukup.

Aku selalu ingat Bu, bahwa setiap hari bapak harus memeras keringat mencari sesuap nasi dengan cara yang halal? Berangkat pagi menuju sawah yang bukan milik sendiri dengan cara bagi hasil. Itupun tidak memadai kan, Bu. Pulang siang dari sawah, bapak beralih ke mesin jahit tua. Mulai bergoyang kaki menyatukan dua potongan kain yang telah di pola. Menyulapnya menjadi sebuah kemeja, celana panjang atau bahkan selembar gaun yang indah. Kalian berdua hebat, Bu. Saling bahu membahu dalam segala hal. Dari kalianlah aku mulai belajar apa itu demokrasi.

Ibu tahukan, di telapak tangan bapak yang besar dan lebar tercipta satu karya seni yang sempurna. Hingga hasil karyanya banyak digandrungi para kerabat. tetangga dan bahkan pemakai jasa penjahit dari desa tetangga. Tentu saja hal ini membuat kita bangga kan, Bu.

Satu hal yang selalu Ibu ingatkan, aku yakin Ibu juga tidak akan pernah lupa. Bahwa bapak melakukan semua itu untuk kita. Untuk dapat melihat anak-anaknya tumbuh dan mendapat pendidikan selayaknya.

Ibu tahu aku juga tidak lupa bahwa bapak sangat telaten mengurus kami anak-anaknya yang mulai beranjak remaja. Sementara Ibu selalu disibukkan dengan urusan rumah tangga dan tetek bengek lainnya. Belum lagi si bungsu juga yang masih batita.

Dan yang paling tidak bisa aku lupakan Ibu, adalah pada saat tidur malam, sepanjang yang kutahu bapak jarang tidur nyenyak. Dia sibuk memastikan apakah anak-anaknya tidur masih tetap dengan selimut yang menutupi tubuh? Ataukah ada si drakula kecil yang mencoba menyuntikkan jarum infus miliknya ke tubuh kami? Betapa tidak relanya bapak jika saja mendapati si penghisap darah itu kekenyangan? Selalu begitu kan Bu?

"Matilah kau, nyamuk sialan. Habis darah anakku kau hisap." Bapak akan terus mendumel sambil menepukin drakula kecil itu satu persatu.

"Apaan sih, Bak?"

Kadang omelan itupun keluar dari mulutku Ibu, ketika bapak menepukin nyamuk agak kuat karena geregetan hingga membuatku terbangun.

"Nyamuk, Nak."

Bapak masih tetap menyahut dengan sabar, tak ada sedikitpun kesal terpancar dari raut wajahnya.

Dan sekarang Bu, Pak, putri cantik kalian ini sudah besar. Namun hingga saat ini belum ada hal berarti yang kuberikan pada kalian. Aku belum bisa membalas jasa Bapak dan Ibu yang begitu besar. Berjuang membesarkan kami tanpa rasa lelah.

Tapi kenapa Bapak Ibu terlihat begitu senang saat seorang pemuda mengkhitbahku? Bukankah harusnya kalian memintaku dulu untuk membalas budi? Tapi kalian tidak melakukannya ibu, ayah. Bagimu yang terpenting aku bahagia, itu yang selalu kalian katakan.

"Ada tiga hal yang membuat orang tua bahagia, Nak. Pertama, saat mengetahui ada janin yang tumbuh berkembang sehat di rahimnya dan terlahir dengan selamat. Yang kedua saat sang buah hati tumbuh dan berkembang secara bertahap adalah hal yang paling menyenangkan. Ketiga ketika akan menikahkan anak-anak tercinta menuju ke kehidupan yang baru." Begitu katamu ibu, pada suatu hari.

Betapa mulianya kalian, tak terlintas sedikitpun omongan dari bibirmu bahwa suatu saat nanti kau minta balasan atas apa yang telah kalian berikan. Karena kalau itu terjadi, sungguh demi apapun takkan ada seorang anak yang bisa menyanggupinya.

Ibu tahu kenapa? Karena menurut guru ngaji ku, andai bumi ini diletakkan di pangkuanmu, belum cukup membalas jasa, pengorbanan bahkan nyawa yang telah kau pertaruhkan selama proses kelahiran hingga tumbuh menjadi dewasa seperti ini.

Tapi kenapa ayah, ibu? Setelah dengan segala pengorbanan kau memperjuangkanku, dengan mudahnya kau menyerahkan anak perempuanmu pada seorang pria yang baru kalian kenal? Orang yang kau sebut sebagai menantu. Tidakkah kau sadari ayah, ibu bahwa setelah ini dirimu bukan lagi prioritas?

Namun kau malah tersenyum untuk itu.

"Jadilah istri yang taat pada perintah suami, sesuai dengan petunjuk yang telah ditulis jelas dalam Alqur'an dan Hadist. Istri yang selalu menjaga kehormatan diri dan suaminya. Kau tahu, Nak. Jika kau bisa menjadi istri solehah, taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya maka syurga bukan hanya menjadi tempatmu. Tapi juga kau akan menyeret ayah dan ibu ke sana, karena telah melahirkan seorang wanita Sholeha sepertimu."

Kata-kata itu terus terngiang ibu. Kau tahu betapa hancurnya hati ini, saat aku mendengar kabar kau pergi untuk selamanya? Kenapa begitu mendadak ibu? Sementara aku tak bisa melakukan apapun sekedar menunjukkan bakti sebagai seorang anak. Walau itu hanya sekedar memandikanmu untuk terakhir kalinya. Walaupun hanya sekedar mengusap air mata bapak yang terus mengalir di wajah keriputnya setelah ditinggal ibu.

Kau tahu ibu, aku sangat ingin melakukan semua itu. Tapi apa dayaku? Orang yang telah kalian percayakan aku padanya, sedang tidak berada di rumah. Berkali-kali sudah kucoba menghubungi, tapi tetap tak ada jawaban. Bahkan tersambung pun tidak. Sementara aku telah berjanji padanya tidak akan kemana-mana sebelum dia kembali.

Jika sudah begini apa yang harus aku lakukan ibu? Aku ingin menunjukkan bakti padamu, tapi aku juga tidak mungkin melanggar perintah dan juga janji pada menantumu.

Hanya do'a yang bisa terus kupanjatkan, semoga kelak kita bisa bertemu kembali di jannahNya. Kalian menjadikanku yang terkasih, namun kalian malah menjadi yang tersisih. Semoga harapanmu menjadi kenyataan ibu, terus doakan anakmu ini untuk menjadi istri solehah.

Tamat

#HanyaFiksi.

Nb :
"Tidurlah, Nak, pejamkan mata. Sudah lelah Bunda mengayun, kenapa Ananda belum tidur juga."

Buaian = ayunan yang terbuat dari rotan yang dianyam.

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang