Sedekah Yang Tidak Berpahala

717 14 7
                                    


"Mima!" Suara sang suami menggelegar membahana di seantero rumah, hingga ke setiap sudut ruangan malah. Meski ia masih di depan pintu masuk.

"Ya, Pipa," sahutku tergopoh-gopoh keluar dari kamar mandi, langsung menuju kamar. Dengan tubuh yang hanya berbalut selembar handuk. Dia menyusul.

Wajahnya terlihat kusut. Layaknya uang kertas seribu an yang telah berpindah tangan untuk kesekian kalinya. Terus nyemplung di mesin cuci. Lusuh.

"Kok Pipa udah pulang?" tanyaku menyelidik sambil melirik jam dinding yang jarum pendeknya baru terarah ke angka dua.

"De-el," jawabnya singkat.

"Ooh," sahutku tanda mengerti.

"Mima, ponsel Android yang satunya lagi mana sih?" lanjutnya.

"Lha, kan dah rusak, Pih."

"Iya ..., mana?"

Lagi-lagi aku tergopoh, masih dengan kondisi yang sama. Mengobrak-abrik rak buku karena kemarin aku menaruhnya di sana. Mencari keberadaan benda yang dimaksud.

"Buat apa sih, Pi?" tanyaku sambil mengulurkan benda tersebut ke hadapannya.

"Coba diperbaiki, daripada jadi rongsokan doang. Sayang kan?"

"Pasti mahal, Pi. Kan LCDnya. Mending beli baru mah."

"Bukan touchscreen nya aja ya?"

"Biasanya kan sepaket, Pipa."

"Mau coba dulu bawa ke tempat service," sahutnya lagi. Aku hanya mengangkat pundak.

Dia melirik sekilas.

"Buruan gih!"

"Apaan sih, Pipa? Ini masih siang lho."

"Mumpung masih siang, ntar keburu tutup."

"Ya elah, Pipa. Kalau buat Pipa mah gak ada istilah ketutup, gimana sih. Pipa gak liat tuh si bocil mondar mandir. Ntar lagi ehem-ehem dia nerobos masuk gimana?"

"Mima mikirin apaan sih? Maksud Pipa kantor GraPARI, kan buka hanya sampai jam lima. Mana macet lagi," sahutnya setengah mendelik.

"Oh, ntu. Kirain," sahutku terkekeh.

"Makanya habis mandi buruan pakaian, biar tuh pikiran gak diserbu ulat-ulat porno yang membuat otak Mima jadi ngeres."

"Lha, gimana caranya? Bukannya dari tadi Pipa nyuruh-nyuruh mulu," sahutku gak mau kalah.

Enak aja dia bilang otakku dirayapi ulat-ulat porno.

"Lagian mo ngapain sih, Pih, ke GraPARI?"

"Bikin kartu baru sesuai nomor Pipa yang lama," sahutnya sambil melangkah keluar kamar. Setelah melirikku sekilas yang tengah berpakaian. Pasti ngindarin kan? Takut kepancing, cibirku dalam hati.

"Emang kartunya kenapa?" tanyaku sambil menyapukan spon bedak ke wajah.

"Hilang." Dia menyahut dari ruang tengah.

"What? Maksud Pipa ponsel Pipa hilang?" tegasku.

Kali ini lengkinganku yang memenuhi seantero rumah. Kepala mengintip dari pintu kamar. Bola mata nyaris mencelat keluar dari rongganya. Gimana tidak? Ponsel model paling mutakhir itu baru dua bulan di tangannya.

"Hu'um," sahutnya lemas.

"Kok bisa sih? Gimana ceritanya?" tanyaku sambil menyusul ke ruang tengah. Sudah rapi tentunya.

Dia terlihat lemas duduk di sofa.

"Jatuh pas lagi kerja."

"Kok bisa sih, Pi."

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang