DongengPada zaman dahulu, di sebuah negeri antah berantah hiduplah seekor kelinci yang sangat lincah dan lucu. Sebut saja si Putih. Tak ada beban di hidupnya. Apa yang dia tahu, hidup ini indah dan harus dinikmati.
Dengan lincah dia berlompatan kesana kemari. Bersenandung ringan. Ketika perutnya mulai keroncongan, ia mencari dedaunan dan mencuri wortel di ladang para petani. Tak sulit baginya untuk mendapatkan itu semua di tengah rimbun pepohonan dan luasnya lahan pertanian.
Saat ia tengah asyik menikmati santapan pagi, seekor burung elang tiba-tiba menukik, tepat di sebelahnya. Saking terkejut, si Putih cantik itu melesat bagai anak panah, dengan sumpah serapah keluar dari mulutnya. Si Putih merasa marah karena harus rela meninggalkan santapan lezat di saat perut belum kenyang.
Sang elang yang tak menyangka hanya diam tergugu. Seseram itukah tampangnya hingga si Putih langsung ambil langkah seribu begitu berhadapan dengannya? Padahal dia hanya ingin berteman. Sudah lama sekali ia suka memperhatikan si Putih secara diam-diam.
Dengan menghela napas berat, sang Elang kembali terbang. Namun ia masih menyimpan asa, berharap suatu saat si Putih akan menganggapnya ada.
"Aku hanya ingin menjadi sahabatmu, Putih. Tak pantaskah?" Setitik kristal membuncah, mengaburkan sorot matanya yang tajam.
Sementara itu si Putih masih setia dengan sumpah serapahnya. Ia harus usaha lagi untuk memuaskan nafsu makannya yang memang di atas rata-rata. Mau kembali ke tempat tadi? Jelas tidak mungkin. Pasti sang petani sudah berada di kebun bersama bocah tengil yang isengnya luar biasa. Si Putih lebih rela kelaparan dari pada harus berurusan dengan bocah badung itu.
"Semua gara-gara kau, Lang. Awas saja kalau aku bertemu lagi," dumelnya.
Namun tersentak, kaget dengan jalan pemikirannya sendiri. Memangnya apa yang bisa ia lakukan terhadap si burung raksasa itu jika melihat saja, kakinya sudah gemetaran?
Si Putih bukannya tidak tahu bahwa si macho itu sering menguntitnya. Yang ia tidak paham untuk apa predator ayam itu melakukan? Sambil mendengus kesal, dia melompat kecil. Mungkin harus mencari rezeki di tempat lain yang lebih aman.
Waktu pun berlalu, sang Elang masih setia mengamati si Putih. Sesekali matanya yang tajam tampak meredup saat melihat sang bidadari cantik dengan segala tingkah polahnya.
Hingga tanpa sengaja matanya menangkap sosok pemburu datang seraya memanggul senapan angin. Pemburu itu terlihat mengendap-endap. Mata Elang itu makin melotot ketika menyadari ke mana moncong senapan angin itu diarahkan.
Tidak! Ia tidak akan membiarkan hal itu. Bagaimana mungkin ia harus kehilangan sosok yang telah menarik perhatiannya akhir-akhir ini? Meskipun sosok tersebut tak pernah menganggap kehadirannya.
Tepat di saat letusan keluar dari moncong senapan, sang Elang menukik tajam. Mengepakkan sayapnya pada senapan angin yang dipeluk pemburu hingga jatuh. Peluru itu melesat ke sembarang arah.
Si Putih menoleh, alangkah terkejut menyadari bahwa dirinya dalam bahaya. Seketika ia kabur menyelamatkan diri.
Setelah detak jantungnya kembali normal, sang kelinci teringat akan Elang. Bagaimana nasib si karnivora itu? Entah apa yang akan dilakukan si Pemburu padanya.
Perlahan rasa sesal mulai menyusup ke dalam sanubari si Putih. Bagaimana 'ia' yang sangat dibenci justru telah menyelamatkan jiwanya? Jika saja saat itu Elang tidak berada di sana. Mungkin sekarang dirinya tengah meregang nyawa.
Dengan rasa haru yang kian membuncah, si Putih mengendap-endap di balik dedaunan. Mengintip ke TKP. Ternyata si pemburu sudah tidak ada. Tapi tunggu! Apa yang terjadi dengan Elang? Kenapa ia bertengger di dahan patah yang telah teronggok di tanah? Dahan yang telah mati, lebih tepatnya cocok untuk kayu bakar.
Walau was-was si Putih tetap mendekat, melawan rasa takut yang sesungguhnya masih sangat menguasai.
"A- ap- apa yang terjadi denganmu, s-s-
Saudaraku?"Ucapan lembut si Putih membuat sang Elang tersentak. Seketika ia merasa tersanjung.
"Pemburu itu mematahkan sebelah sayapku," sahut si mata belok. Ia berusaha mengepakkan sayap itu, namun gagal.
"Maaf, kau begini gara-gara aku."
Si Putih berucap pelan sambil menunduk, setitik bening lolos begitu saja dari sudut matanya.
"Padahal kau tahu kan, aku sangat benci padamu?" lanjutnya getir.
"Aku tahu. Yang aku tidak tahu apa alasanmu membenciku," sahut sang Elang datar.
"Karena kau menyeramkan, jangankan untuk mendekat melihat dirimu saja aku sudah ketakutan." Kelinci menjawab jujur.
"Lalu sekarang kenapa kau tidak takut lagi padaku? Apa karena sayapku yang telah patah, hingga tak ada lagi yang bisa aku banggakan?" tanya si Elang getir, nyaris putus asa.
Bagaimana ia bisa terbang dalam keadaan seperti ini?
"Bukan."
Si Putih menggeleng tegas. "Karena kau ternyata punya hati yang putih," lanjutnya. "Mungkin lebih putih dari buluku."
Ia menatap Elang dengan penuh rasa kagum.
"Aku telah salah menilaimu selama ini, Lang. Aku hanya berkaca dari tampangmu yang jelek. Apalagi matamu, tatapannya lebih menyeramkan dari sosok hantu dan dedemit."
Sang Elang tergelak mendengar ucapan si Putih yang terlalu ceplas-ceplos. Namun predator yang satu ini malah tidak menunjukkan sikap tersinggung.
"Kamu lucu ya?" ujarnya.
"Tapi aku benar-benar minta maaf, Lang. Kalau kau tidak keberatan izinkan aku merawat luka itu. Setidaknya sampai kau pulih," pinta Putih sungguh-sungguh.
Ia benar-benar merasa bersalah.
"Apa hanya karena kau merasa kasihan?"
Putih lagi-lagi menggeleng.
"Tidak!" Ia menjawab cepat. "Karena kau pantas mendapatkannya."
Elang menatap si Putih. Hatinya seketika mengharu biru.
"Ternyata selama ini aku telah salah menilaimu. Jika kau bersedia, maukah kau menjadi saudaraku?" ujar si Putih lagi.
Apa yang lebih baik dari tawaran itu? Selama ini Elang hanya mengharapkan si kelinci menjadi sahabatnya. Tetapi karena ketulusan budi dan sikap menolong sesama tanpa pamrih yang ia tunjukkan, sang Elang mendapatkan lebih dari yang ia mau. Sang Kelinci menawarkan sebuah ikatan persaudaraan.
Dengan pandangan mata berkaca-kaca Elang menatap si Putih.
"Bolehkah aku memelukmu, Dek?" Si Elang mengepakkan sebelah sayapnya yang masih utuh.
"Dengan senang hati, Kak," sahut si Putih. Lantas melompat pelan ke bawah sayap elang yang terbuka.
Ternyata rasa persaudaraan itu jauh lebih indah jika didasari ketulusan, bukan hanya menilai apa terlihat.
Sejak saat itu mereka saling tolong menolong, bahu membahu, selalu bersama dalam suka dan duka. Mengarungi kehidupan yang mereka yakini makin ke sini makin tidak mudah. Habitat mereka kian terancam di mana banyak pemburu yang ingin menjadikan mereka hewan peliharaan.
Tamat.
Tangsel, 161117
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
RandomMerupakan kumpulan dari cerita pendek dari berbagai genre. Cerita yang ringan, namun lumayan menghibur.