Chapter 0 : Prolog

13.3K 648 7
                                    


PROLOG

        Matahari sudah mengarah dari timur ke barat. Langit mulai memamcarkan warna kelamnya yaitu abu-abu, yang menandakan bahwa hujan akan segera turun. Dan jika itu terjadi, maka para penghuni dunia akan menghentikan aktivitasnya di luar, agar tidak terkena percikan air dari langit yang akan menimbulkan sakit.

        Tapi tidak dengan seorang gadis gempal berpenampilan kucel yang berdiri di trotoar jalan raya. Dia sama sekali tidak memikirkan apakah akan hujan atau hanya sebuah guntur yang akan turun. Dia tidak peduli pakaiannya akan basah dan tubuhnya menggigil. Yang di pedulikan saat ini adalah dia harus cepat pulang ke rumah majikannya untuk mengantarkan es kelapa muda yang sepertinya sudah mencair es batunya.

        Pandangannya terus menatap kedepan walau sebenarnya dia tidak bisa melihat apa yang dia pandang. Mata memang terbuka lebar, bisa dikedipkan dan bola matanya juga bisa memutar, namun satu kelemahannya, tidak bisa berfungsi untuk melihat.

        Dialah Pelangi, si gadis buta berusia 17. Di usia yang seharusnya sudah masuk di ke sekolah SMA kelas 12, kini harus menerima nasibnya menjadi gadis tak berpendidikan. Dia hanya gadis buta yang hanya lulusan SMP, dengan keterbatasan ekonomi keluarga. Membuatnya mengharuskan untuk bekerja membantu Ibunya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang anggota DPR.

        Menunggu jalanan sepi dan dirinya bisa menyabrang, Pelangi diam saja di tempat. Ketika angin kembali terhembus membuat bulu kuduknya merinding, dia mengeratkan jari jemari tangan kirinya di kaitan plastik yang berisi es kelapa muda milik anak majikannya itu. Sedang tangan kanannya yang menggengam kuat tongkat pembantu jalannya kini sudah basah akibat dirinya yang terlalu cemas.

        Dibalik kecemasan Pelangi, seorang anak laki-laki mengenakan seragam putih abu-abu mengerutkan dahi ketika melihat Pelangi berdiri sendiri di trotoar seberang sana, tanpa niat menyabrang. Hingga mata laki-laki itu melirik ke tangan kanan Pelangi, dia mengerti kenapa Pelangi tak kunjug menyabrang jalan. Dia buta. Anak laki-laki itu beranjak dari kursi rumah makan sederhana, menghampiri Pelangi.

        Tanpa mengucapkan kata, laki-laki ber-nametag Laskaran Putra Wijaya itu menuntun tangan kiri Pelangi penuh hati-hati dan pelan. Sesekali dia melambai-lambaikan tangannya agar pengendara berhenti sejenak untuk memberinya jalan.

        Pelangi yang di perlakukan seperti itu oleh seseorang yang tidak dikenalnya hanya bisa menurut saja dengan fikiran berkecamuk. Selama dia buta, baru kali ini ada yang membantunya menyabrang jalanan tanpa berkata dulu. Setidaknya dia bilang, Mari saya bantu atau bertanya dulu, Adek mau nyabrang?

        Sampai di depan warung makan sederhana, Laskar melepas pergelangan tangan Pelangi. Dia melihat raut ketakutan di wajah gadis itu. Ingin megatakan maaf padanya namun mulutnya seolah kelu tidak bisa berbicara. Rasanya canggung, membuat Laskar hanya bisa menunggu Pelangi yang berucap lebih dulu.

        "Makasih, mas atau mba sudah bantu saya. Saya permisi." Ujar Pelangi lalu tersenyum. Beberapa detik, ia melangkahkan kakinya untuk melanjutkan jalan pulang.

        Namun langkahnya terhenti ketika suara seorang laki-laki terdengar. "Sebentar lagi turun hujan. Kamu nggak mau singgah dulu? Nunggu hujan reda?"

        Tanpa berbalik badan, Pelangi diam di tempat. Sambil memegangi ujung tongkat, tangan kanannya menengadah untuk melihat keadaan, apakah sudah hujan atau belum. Tidak ada percikan air dari atas yang jatuh di telapak tangannya. Itu menandakam hujan belum menyapa dunia.

Sightless Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang