Esok ini Pelangi sudah di bolehkan untuk pulang. Bersama Ibunya, Lala dan Langit yang kini tengah membawakan tas milik Ibunya berisi pakaian itu, dia berjalan bersama menuju mobil Lala. Jujur saja, Pelangi merasa tidak enak ketika melihat Langit repot-repot membawakan tasnya dan bela-belakan tidak masuk sekolah hanya untuk menjemput Pelangi pulang.Entah itu Langit melakukannya dengan ikhlas atau terpaksa karena Lala memaksanya—mungkin saja. Setahu Pelangi, Lala selalu memaksa Langit untuknya. Tapi pemikiran Pelangi jelaa salah. Langit melakukan itu dengan rasa ikhlas. Maklum, rasa bencinya sudah beralih menjadi cinta. Jadi tidak ada rasa terpaksa.
Ketika Pelangi hendak masuk ke dalam mobil Lala di kursi penumpang belakang, dia di panggil oleh seorang Dokter yang kebetulan kemarin telah mengoperasikannya. Dokter itu tersenyum pada Pelangi, Ratih dan Lala—Langit sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil di bagian kemudi karena laki-laki itu yang akan mengendarai.
Wanita berjas putih itu mengulurkan tangannya untuk menyerahkan sebuah amplop ukuran sedang berwarna putih pada Pelangi. “Ada titipan surat dari orang yang mendonorkan bola matanya untuk kamu. Bisa di buka nanti setelah sampai di rumah.” katanya, di akhiri dengan senyuman ramah.
Terheran-heran, tapi Pelangi tetap menerima surat itu. Dia berterimakasih pada Dokter wanita dengan paras cantik itu ketika Dokter itu hendak berlalu. Kini Pelangi, Lala dan Ratih menatap amplop berisi surat di tangan Pelangi. Fikiran mereka di penuhi oleh pertanyaan, kira-kira siapa yang mendonorkan bola mata untuk Pelangi? Apa alasannya kenapa mau mendonorkan? Dan kenapa tidak mau di bayar?
Lama mengamati amplop itu dan tersadar ketika suara klakson mobil terdengar. Langit sengaja menyalakan klakson agar semuanya segera masuk dan pergi dari Rumah sakit ini. Dia sudah jengah melihatnya. Rumah sakit ini mengingatkannya ketika dia sakit dan membunuh Laskar pula.
Setelah semua sudah masuk dengan posisi duduk, Lala di depan bersama supir bernama Langit. Sedangkan Pelangi dan Ratih ada di belakang keduanya. Tangan Pelangi masih menggenggam erat amplop pemberian dari Dokter. Dia ingin membuka sekarang juga, tapi tidak enak. Rasanya sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa orang sudah berbaik hati padanya sampai ikhlas memberikan donoran bola mata tanpa meminta imbalan uang sedikitpun. Padahal dari dulu Pelangi sudah mengumpulkan uang untuk membeli bola mata di Rumah sakit.
“Setelah sampai di rumah kamu, nanti di buka ya Pelangi, suratnya. Mba penasaran. Siapa sih yang donorin bola mata untuk kamu.” ujar Lala, memecahkan keheningan di dalam mobil.
Kepala Pelangi mendongak, menatap punggung Lala di depannya. Dia mengangguk, “Iya Mba, Pelangi juga penasaran.”
Diam-diam Langit mendengarkan obrolan kilas itu. Tanpa terganggu dengan konsentrasi mengemudinya, dia melirik Pelangi dari pantulan kaca depan. Gadis itu rupanya sedang menundukkan kepala lagi sambil menggenggam amplop. Ah, Langit jadi menebak-nebak di benaknya. Siapa yah, yang mendonorkan bola mata untuk Pelangi? Mulia sekali orangnya, bahkan sampai tidak mau di bayar.
Tiba di rumah Pelangi. Seperti yang di katakan Lala di dalam mobil tadi, untuk membuka amplop. Semuanya sudah kumpul di ruang tengah yang di fasilitasi sebuah tempat duduk dan televisi jaman dulu. Dengan suguhan air putih dari Ratih. Pelangi duduk di apit oleh Ibunya dan Lala. Sedang Langit, dia duduk seorang diri, berhadapan dengan tiga wanita.
“Ayo, buka nduk.” ujar Ratih, geram. Karena Pelangi terlalu ragu-ragu untuk membukanya.
Pelangi dengan cepat menyobek rekatan penutup amplop dalam sekali sobek. Dia mengambil sebuah kertas di dalam sana dan membacanya dalam hati, bersama dengan Lala yang juga membaca dalam hati, tapi tidak dengan Ratih. Beliau diam saja sambil mengerutkan dahi memandang tulisan tak kasat mata di kertas tangan Pelangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sightless
Teen Fiction"SIGHTLESS" (Pelangi, Gadis Buta Tanpa Talenta) BLURB; Hitam, gempal, jelek, kumuh, miskin dan dia buta. Namanya Pelangi, gadis buta tanpa talenta. Ibunya hanya ART di rumah seorang anggota DPR dan dia setiap hari ikut bekerja. Disana...