Chapter 12 : Kekejaman Langit

5.3K 278 6
                                    

        Minggu pagi, sekitar pukul delapan kurang lima menit, Langit sudah mengeluarkan motornya dari pekarangan rumah. Menjalankan kendaraan kesayangannya menelusuri jalanan kecil untuk menuju rumah Pelangi. Iya, rumah kecil dan buluk itu. Langit sengaja berkunjung kesana, dan tujuannya tidak jauh-jauh dari masalah hobinya. Merokok. Pagi-pagi yang sedikit mendung ini memang lebih enak memanjakan mulutnya untuk menghembuskan kepulan-kepulan asap.

        Setelah memarkirkan motor, Langit masuk ke rumah Pelangi tanpa permisi, sudah kebiasaannya. Sambil melangkah menuju kursi di ruang tamu, matanya meneliti seisi ruangan untuk mencari keberadaan sang penghuni. Namun tidak ditemukan.

      “Pelangi....” panggilnya.

        Suara keras yang sudah  khas di telinga Pelangi membuat gadis buta itu segera meninggalkan cuciannya begitu saja. Ia meraih tangkat lalu berjalan sedikit terpogoh untuk menghampiri Langit, sebelum laki-laki itu membentaknya dan berujung mengatainya lagi.

        “Heh, gue disini!” ujar Langit saat melihat Pelangi berjalan hendak melewati ruang tamu. Kakinya yang menjuntai diatas meja segera ia turunkan sambil menghembuskan asap rokok.

        Kini Pelangi sudah duduk dihadapannya. Langit mengamati penampilang gadis buta itu. Masih dengan pakaian kucel yang warnanya sudah mulai memudar dan sekarang pakaian itu basah. Langit meringis jijik melihatnya. Apa itu keringat Pelangi?

        “Lo beneran nggak punya baju bagus yang layak dipake, ya? Satu gitu.” tanyanya.

        Pelangi menggeleng. “Nggak, Den. Baju-baju bagus saya sudah usang semua karena waktu itu kamar saya sempat kebakaran.” jeda beberapa detik, tangannya meraba pakaian yang dikenakannya, “Ini juga di kasih tetangga.” lanjutnya.

        Memang, dua tahun lalu kamar Pelangi sempat dilanda kebakaran akibat meletakan obat nyamuk di dekat kain yang biasa untuk keset. Kain tak bersalah itu terbakar dan menjalarkan apinya ke benda lain yang mudah terbakar hingga menyambung pada sebuah lemari pakaian kayu yang sudah mulai goyah. Semua pakaiannya harus usang disana dengan beberapa buku-buku mata pelajaran sewaktu SMP yang masih sempat Pelangi simpan dan di jaga. Pada saat kejadian itu terjadi, untung saja Pelangi dan Ratih belum dalam keadaan tidur kebo, jadi keduanya cepat bereaksi dan keluar dari kamar cepat-cepat.

Karena kebakaran itu pula yang membuat tempat tidur Pelangi menjadi kecil. Dulu, ketika itu belum terjadi ia masih menggunakan tempat tidur bermodelan agak besar dan bisa dimuat untuk tiga orang, Ayahnya, Ibu dan Pelangi. Tapi untungnya Kepala Desa mengasihinya dan memberinya kasur kecil. Beberapa sembako juga dipesembahkan.

        Yang dilakukan Langit saat mendengar cerita kilas itu adalah melongo. Miris sekali hidup Pelangi? Beberapa tahun lalu kecelakaan dan mengakibatkan Ayahnya meninggal serta dirinya harus buta, dia juga pernah mengalami kebakaran. Kepala Langit bergeleng-geleng tidak percaya. Tidak percaya karena Pelangi begitu mengenaskan hidupnya.

        “Untung hidup gue nggak semengenaskan lo.” gumamnya, masih bisa didengar oleh Pelangi.

        “Iya, Den. Aden harus bersyukur.” sahut Pelangi.

Langit tidak membalasnya. Ia menyesap kembali ujung rokok lalu menghembuskan asap kesembarang arah. Daridulu dia juga selalu bersyukur atas apa yang telah Tuhan beri. Bersyukur bisa memiliki keluarga utuh dan masih utuh sampai saat ini. Bersyukur selama ini ia belum merasakan sebuah musibah besar dalam hidupnya. Bersyukur pula karena memiliki teman.

        Disaat-saat Langit diam dengan pandangan menatap jendela luar sambil mulutnya sibuk menyesap dan menghembuskan asap, suara nada dering ponsel membuatnya terusik. Matanya melirik pergerakan Pelangi yang tengah mengambil sesuatu di saku bajunya. Ia mengeluarkan ponsel jadulnya lalu meraba tombol-tombol disana hingga ia berhasil menghilangkan suara nada dering berisik itu.

Sightless Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang