Kedua kaki itu melangkah lambat, keluar dari ruangan Dokter. Lala menutup pintu ruangan setelah ia berhasil menuntun Pelangi keluar. Lalu dia kembali menuntun tangan Pelangi untuk berjalan. Pelangi memang memakai tongkat, hanya saja Lala ingin menggandeng tangan Pelangi.Baru saja Pelangi mengkontrolkan matanya pada Dokter. Setelah tiga bulan tidak melakukan rutinitas itu karena uang yang memang tidak mencukupi, hari ini berkat Lala akhirnya Pelangi bisa kontrol kembali walau terlambat satu bulan.
Seharusnya hari ini pula Pelangi bahagia karena bisa kembali mengobati matanya. Tetapi wajah itu terlihat murung. Membuat Lala berkali-kali mengusap bahu Pelangi sambil mengatakan kata sabar. Ya, sabar. Beberapa menit lalu Dokter yang biasa memeriksa mata Pelangi mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada donor mata. Dan maka dari itu ia harus bersabar. Mungkin ini belum saatnya untuk Pelangi bisa melihat dunia kembali. Tuhan masih menginginkan Pelangi untuk tidak melihat panasnya dunia.
“Pelangi, nanti kamu ke ruangan Langit duluan, ya. Mbak mau tebus obat kamu dulu, sekalian beli makan buat kamu.” ujar Lala. Tempat Pelangi kontrol dan tempat Langit di rawat memang sama. Yaitu di Rumah sakit Harapan.
Pelangi mengangguk saja menanggapi ucapan Lala. Dia sedang tidak mau untuk banyak bicara. Fikirannya sedang dipenuhi oleh beberapa hal. Mengenai tentang Laskar yang ternyata anaknya sahabat Ayahnya. Dan mengenai beberapa menit lalu, tentang berita mengenaskan karena ia belum mendapatkan donor bola mata.
Sampai di ambang pintu, Lala melepas tangan Pelangi. Dia menatap sambil tersenyum pada wajah kusut anak pembantunya. “Mbak minta tolong jagain Langit, ya?” tanyanya.
“Iya, Mbak.” setelah mendapat jawaban, Lala segera berlalu meninggalkan Pelangi di pintu ruangan rawat Langit.
Sebelum akhirnya membuka pintu dan mendapat pertanyaan dari Langit mengapa ia masuk, lebih dulu Pelangi menghela nafas beberapa kali sambil menata jawaban yang nantinya akan ditanyakan oleh Langit. Lalu setelah itu ia membuka pintu secara pelan dan masuk.
Ruangan yang difasilitasi oleh satu bangkar yang kini ditiduri oleh Langit, nakas kecil di sebelah bangkar, dua tempat duduk besi serta sofa di pojok ruangan itu menyapa kehadiran Pelangi. Dengan langkah pelan dan di iringi suara tongkat yang beradu dengan keramik lantai, Pelangi menghampiri Langit.
“Ngapain lo kesini?”
Sudah Pelangi duga. Pasti hal itu yang akan Langit tanyakan pada saat melihat kedatangannya. Tidak menjawab, Pelangi terus berjalan hingga tangannya tidak sengaja menemukan kepala kursi. Ia menggeser kursi besi itu lalu mendudukinya. “Habis periksa mata.” jawab Pelangi akhirnya.
“Siapa yang nyuruh lo duduk?” tanya Langit lagi.
Andai tangannya terbebas dari sakit nyeri yang menjalar, Langit pastikan saat ini juga ia akan melempar Pelangi keluar dari ruangan rawatnya. Atau setidaknya, kakinya bisa untuk digerakkan, Langit akan menendang Pelangi jauh-jauh. Tapi sayangnya semua itu tidak bisa dilakukan. Kaki Langit beberapa jam lalu baru di pen, karena kecelakaan yang menimpanya. Jadilah saat ini ia tidak bisa menggerakkan kakinya.
Kepala Pelangi tertunduk mendengar pertanyaan kedua. Tidak ada yang menyuruhnya duduk, hanya saja ia ingin duduk agar kakinya tidak keram terlalu lama berdiri. Jari jemarinya saling meremas karena dilanda takut. Takut jika Langit mengusirnya atau membentaknya seperti hari-hari biasa.
“Lo udah putus sama Laskar?” tanya Langit, seraya tangannya memegangi dahi yang kini terbalut oleh perban.
Pelangi menggeleng sebagai jawaban. Entah itu jawaban ya atau tidak, Langit tidak bisa mengerti. “Udah putus?” tanyanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sightless
Teen Fiction"SIGHTLESS" (Pelangi, Gadis Buta Tanpa Talenta) BLURB; Hitam, gempal, jelek, kumuh, miskin dan dia buta. Namanya Pelangi, gadis buta tanpa talenta. Ibunya hanya ART di rumah seorang anggota DPR dan dia setiap hari ikut bekerja. Disana...