Pulang dari sekolah, Langit tidak langsung menuju rumah. Ia berhenti di rumah Pelangi. Mendobrak pintu rapuh itu tanpa takut rusak dan duduk di ruang tamu, bersandar disana seperti rumah sendiri. “Pelangi...”
“Iya Den.”
Tumben sekali baru dipanggil langsung nongol. Tidak biasanya. Pelangi berjalan menghampiri Langit di ruang tamu. Ia tahu betul tempat langganan di rumahnya, yaitu ruang tamu. Selain bisa merasakan semilir angin lewat jendela, disana juga tempat yang lumayan rapih dibanding tempat lain di rumahnya. Apalagi kamar, bahkan tidak pantas disebut kamar. Gudang mungkin pantas.
“Laskar ke rumah lo kan?” tanya Langit ketika Pelangi sudah duduk dihadapannya.
“Iya,”
“Ngapain aja dia? Ngegombalin lo ya?”
“Nggak Den.” bohong Pelangi. Ia takut juka menjawab jujur, laki-laki didepannya itu akan mengatakan hal tidak baik pada Laskar.
Langit tahu betul bahwa Pelangi sekarang sedang berbohong padanya. Dari suara dan raut wajah, bisa didengar serta lihat secara jelas. Langit heran, kenapa Pelangi memilih bohong? Ia benci dan tidak suka dibohongi. Yah, walaupun dirinya memang sering melakukan kebohonga. “Nggak usah bohong! Kalian mesra-mesraan kan?!”
“Astaghfirullah, Den. Saya dan Laskar nggak gitu.”
“Nggak gitu gimana? Kalo memang nggak gitu, kenapa muka lo kayaknya takut banget?” pancing Langit lalu tersenyum mengejek.
Lagi-lagi Pelangi mengelak. Kepalanya tergeleng berkali-kali untuk meyakinkan Langit bahwa ia tidak seperti apa yang ada di fikiran Langit. Dan seberapapun Pelangi meyakinkan Langit, laki-laki itu tidak akan pernah percaya. Dia sangat tahu bahwa Pelangi saat ini berbohong. Untuk apa sih lo bohong? Tanya Langit dalam hati. Ia ingin menanyakan itu, tapi gengsi. Takut-takut jika Pelangi menjawabnya dengan, Dan untuk apa juga Den Langit tanya seperti itu? Bisa berabe. Nanti Langit akan membalas dengan apa?
“Iya deh, kali ini gue percaya sama pembohong kayak lo. Terus, kalo nggak mesra-mesraan, kalian ngapain aja?”
Bukannya menjawab, Pelangi malah menundukkan kepala sambil senyum malu-malu. Fikirannya berkeliaran memikirkan beberapa jam lalu, ketika masanya bersama Laskar. Dimana ia mendapat humoran dari laki-laki itu, serta nyanyian lagi Laskar Pelangi yang mampu membuatnya mengeluarkan air mata haru. “Dinyanyiin sama Laskar.” jawabnya.
“Lagu apa?”
“Laskar Pelangi.”
Astaga! Saat itu juga Langit menghempaskan bahunya kebelakang. Ia memijit dahi berkali-kali untuk meringankan beban fikiran. Laskar benar-benar laki-laki idaman. Idaman pengin najong! Untung saja dia bernotaben sahabat, jika tidak mungkin Langit sudah membakar atau menghabisi Laskar dengan tonjokan bertubi-tubi. Dan akan memotong jambul pirang laki-laki itu.
Langit bukanlah laki-laki penggombal perempuan sana-sini, tebar pesona dari adik kelas sampai seangkatannya. Ia bahkan jijik jika dirinya berperilaku seperti itu. Dan Langit tidak suka jika ada seseorang yang seperti itu, contohnya Laskar. Dalam sehari sahabat sekaligus teman sebangkunya itu bisa menghabiskan sepuluh gombalan pada setiap murid jika di kantin. Maka dari itu, Langit tidak suka jika Edo mengajak nongkrong di kantin jika istirahat, ia malas melihat kelakuan Laskar. Lebih baik di gudang, bermain gitar, catur, makan kacang, minum teh botol atau saling menonjok satu sama lain, tanpa ada rasa dendam.
“Kalian nggak pacaran kan?” tanya Langit dengan nada pasrah. Jika jawabannya iya, lebih baik ia pulang sekarang juga dan minum sianida di kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sightless
Teen Fiction"SIGHTLESS" (Pelangi, Gadis Buta Tanpa Talenta) BLURB; Hitam, gempal, jelek, kumuh, miskin dan dia buta. Namanya Pelangi, gadis buta tanpa talenta. Ibunya hanya ART di rumah seorang anggota DPR dan dia setiap hari ikut bekerja. Disana...