Chapter 27 : Sahabat Penghianat

3.9K 180 0
                                    

   Siang ini selepas pulang sekolah, Langit mengajak Pelangi ke penjual es kelapa muda langganannya yang biasa mangkal di dekat jalan raya kompleks. Dia mengendarai motornya secara perlahan, karena katanya Pelangi itu takut naik motor.

Gadisnya itu masih ada trauma di masa lalu. Yah, Langit memakluminya. Motornya berjalan perlahan sampai berhenti tepat depan gerobak Mang Uwe—penjual es kelapa muda. Langit mengisyaratkan Pelangi untuk turun. Pelangi pun turun.

        “Eh, neng Angi, sudah sembuh ya matanya?” tanya mang Uwe basa-basi sambil tangannya tidak berhenti melayani pembeli.

        Ketika Pelangi sudah mengagakan mulutnya untuk menjawab, Langit sudah menyelanya dengan ucapan, “Iya mang, Allhamdulilah.” lalu tangannya menarik pergelangan Pelangi penuh kelembutan, menuntun gadisnya untuk duduk di kursi tanpa kepala yang terbuat dari plastik. “Es kelapa dua mang, minum disini ya.” katanya pada penjual es kelapa asal kota Bandung itu.

        Dibalas mang Uwe dengan anggukan setelah kepergian pembeli perempuan yang sudah dilayaninya. Mang Uwe memandang Pelangi dan Langit bergantian dengan senyum di bibir. “Tumben kalian teh kesini. Minum disini segala.” ucapnya, lantas mengambil dua gelas besar untuk memulai membuatkan es kelapa.

        Langit terkekeh, melirik sedikit pada Pelangi di sebelahnya yang sedari tadi diam dengan pandangan selalu menatap ke depan pada jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan roda dua dan mobil. “Sesekali lah mang. Untuk memulai hubungan baru.” sambil kembali melirik Pelangi dan melihat gadis itu sudah menundukkan kepala dengan lesung pipi terlihat disana. Andai ini bukan tempat umum, Langit pasti akan mencium cekungan menggemaskan itu.

        “Oh... Kalian teh pacaran?” tanyanya seraya melangkah menghampiri kedua sepasang kekasih itu. Mang Uwe menyerahkan dua gelas berisi penuh es kelapa.

        “Ya.. Menurut mang Uwe aja. Menurut mamang, kita pantes nggak?” tanya Langit, tidak pandang malu sama sekali.

        Laki-laki paruh baya itu mengangguk, “Menurut mamang sih pantes. Kalian cocok markocok lah pokoknya.” kedua tangannya mengacungkan jempol masing-masing. “Yaudah atuh, diminum. Nikmati es kelapanya.”

        Langit tersenyum dan mengangguk. Kepalanya menoleh pada Pelangi yang ternyata sedang menundukkan kepala sambil kedua tangan sibuk melilit-lilitkan ujung baju seperti anak kecil. Senyum Langit semakin terurai, dia menyerahkan gelas di tangan kanannya tepat pada bawah wajah Pelangi yang tertunduk. “Ini diminum. Lo pasti haus daritadi diam terus.” katanya.

        Mendengar kata yang sepertinya ejekan itu membuat kepala Pelangi terangkat mengarah langsung menatap Langit. Kenapa laki-laki ini selalu membuatnya kesal dan malu, bukan merona? Pelangi bertanya-tanya dalam benak. Dia memandang Langit tanpa niat tangannya mengambil alih gelas di genggaman laki-laki yang beberapa hari lalu telah resmi menjadi kekasihnya.

        Di pandang seperti itu oleh Pelangi, sontak saja Langit menaikkan satu alisnya. Merasa bingung dengan perubahan wajah gadisnya. “Lo kenapa? Nggak mau es?”

        Langit nggak peka! Pelangi memaki dalam hati. Bagaimana mungkin laki-laki itu malah bertanya sedemikian? Tanpa sadar Pelangi berdecak sambil meraih gelas di tangan Langit. Pandangannya kembali tertuju pada jalanan ramai. Memandang jalanan dengan tangan menyuapkan air es kelapa pada mulutnya tanpa henti. Hatinya mendumel meracau tidak jelas tentang sikap Langit yang tidak peka, menurutnya. Dan entah kenapa, Pelangi jadi seperti ini. Ingin di pekai oleh Langit. Padahal dirinya tahu, ia hanya pembantu yang kebetulan menjadi kekasih dari anak sang majikan.

        Tapi, jujur saja. Akhir-akhir ini Pelangi ingin sekali mendapat perhatian dari Langit. Entahlah, kenapa keinginan itu bisa masuk dalam dirinya. Mungkinkah perasaan Pelangi pada Langit sudah mulai masuk dalam tahap suka? Atau bahkan cinta? Secepat itukah hatinya menerima orang yang sudah melukainya? Pelangi tidak tahu. Satu minggu telah menjalin hubungan pacaran dengan Langit, dirinya mulai terbiasa bersama laki-laki itu. Ternyata benar, apa kata Langit. Cinta datang karena terbiasa bersama.

Sightless Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang