Chapter 11 : Ini Bukan Cemburu

4.7K 284 6
                                    

        Santi terdiam di tempat. Matanya mengikuti arah motor Langit yang berhenti di sisi sebelah mobil Pajero. Rasanya aneh sekali saat Langit benar-benar mengabaikannya. Padahal anaknya itu jelas lihat keberadaannya. Santi menghela napas dan menggelengkan kepala beberapa kali. Berfikir positif, bahwa Langit begitu karena dia sudah lapar.

        “Nyonya, tanaman apalagi yang mau dipotong?” tanya Ratih, berdiri dibelakang Santi sambil membawa gunting pemotong rumput.

        Lantas Santi berbalik badan. Tangannya menunjuk kearah tanaman yang hanya dilebati dedaunan. Beliau memang sedang ada di taman depan rumahnya. Membersihkan tempat favoritnya selagi ada waktu senggang, seperti sekarang ini.

***

        Beberapa menit untuk mengganti pakaian, kini Langit kembali menuruni anak tangga. Kaos putih bertuliskan ‘BadBoy’ dan celana jins selutut sudah melekat di tubuhnya. Kaki jenjang itu melangkah menuju dapur untuk segera mengintrogasi seseorang bernama Pelangi.

Tepat masuk ke dapur, pertama kali yang Langit lihat adalah keberadaan Pelangi. Gadis buta itu tengah duduk disalah satu kursi meja makan. Tangannya cekatan mengiris cabai menggunakan pisau tajam. Pandangan Pelangi lurus kedepan dengan agak sedikit mendongak. Senyum licik Langit seketika terbit. Ia segera mengambil posisi duduk didepan Pelangi, tanpa mengganggu kegiatan gadis itu. Langit memperhatikan Pelangi bekerja. Gadis buta yang lincah, pikirnya.

        “Aww...”

        Mata Langit terbelalak kaget melihat jari telunjuk kiri Pelangi tidak sengaja tergores pisau dan mengeluarkan darah segar. Tanpa menunggu lama lagi, Langit beranjak dari duduknya, mengitari meja makan dan sesampainya disamping Pelangi ia meraih tangan kiri gadis itu. Meniup jari yang mengeluarkan darah terus-menerus penuh hati-hati. Lalu beberap detik kemudian ia menghisapnya agar darah tidak keluar terlalu banyak. Entah itu ide dan fikiran darimana, bisa-bisanya Langit berperilaku sebaik itu terhadap Pelangi. Yang notabennya adalah gadis buta dan Langit membenci orang buta. Sudikah, Langit? Apa dia sudah terhipnotis oleh luka itu?

        “Lo nggak apa-apa?” tanyanya setelah berhasil membendung darah itu.

        “Den Langit...?” gumam Pelangi seraya mengerutkan dahi. Apakah ini benar-benar Langit? Pelangi sungguh tidak percaya dengan apa yang dilakukan Langit padanya. Untuk apa Langit repot-repot membantu mengobati lukanya? Bukankah Langit selalu senang jika Pelangi terluka? “Ini beneran Den Langit?” tanya Pelangi, tidak percaya.

Wajah Langit tampak bersungut-sungut mendengar perkataan Pelangi. Lantas laki-laki itu menghempaskan tangan Pelangi begitu saja dan sedikit kasar. Hatinya terasa seperti tertohok melihat raut ketidakpercayaan Pelangi. Untuk menghindari emosinya yang akan meledak, Langit kembali duduk di kursi sebelumnya. Menatap Pelangi penuh sinis dengan napas memburu.

        “Den Langit...?”

        Suara Pelangi menyerukan namanya membuat Langit menghela napas dan menyahut, “Ngapain lo cari-cari gue?!” terdengar ketus.

        “Makasih,” cicitnya.

        “Terimakasih lo, nggak gue terima!” lagi-lagi Langit menyahut menggunakan nada ketus.

Keduanya terdiam begitu lama. Pelangi sudah tidak adalagi berniatan untuk lanjut mengirisi cabai, karena jarinya masih terasa perih. Sedangkan Langit, dia malah lupa dengan niatnya yang akan bertanya-tanya pada Pelangi mengenai kedekatan gadis buta itu dengan Laskar. Semua dikarenakan luka itu. Jika saja Langit tadi tidak menolong Pelangi, ia pasti tidak akan semarah ini pada Pelangi. Iya, Langit marah. Marah karena Pelangi tidak percaya dengan kebaikan yang telah Langit lakukan, barusan.

Sightless Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang