Empat hari melaksanakan UN yang begitu menegangkan karena pengawasnya terlihat sangat seram. Dan, satu bulan lamanya menunggu pengumuman kelulusan tertempel di mading. Akhirnya penantian itu tidak sia-sia. Karena tepat pada hari Sabtu ini, pengumuman kelulusan sudah terpasang di mading sekolahan.
Baru saja Langit selesai melihat namanya yang ternyata lulus. Dia cukup bahagia dan menyambut bahagianya hanya dengan senyuman tipis. Karena akan lebih bahagia lagi jika Wawan dan Edo memeluknya sambil berkata ‘kita lulus, bro’. Namun itu tidak akan terjadi. Bahkan tadi ia sempat melihat Wawan dan sahabatnya itu lebih memilih membuang muka, tidak mau balas menatap apalagi menyapa.
Langit melangkah menjauh dari para teman-temannya yang sedang bergerombol memenuhi mading untuk melihat pengumuman kelulusan masing-masing. Dengan langkah rapuh, ia menuju parkiran sekolahan. Lebih baik ia pulang dan tidur di rumah.
Tidak ada acara konvoi-konvoi bersama teman-teman. Karena teman-temannya juga tidak ada yang mengajaknya. Entah kenapa, sejak Langit jauh dari Wawan dan Edo, teman-teman lainnya tidak ada yang mau dekat dengannya lagi. Sekedar berbasa-basi di dalam kelas atau menyapa di kantin, bahkan tidak pernah. Langit bingung dengan semua itu. Tapi dia sadar. Mungkin ini adalah balasan dari Tuhan karena sudah menyia-nyiakan sahabat yang sudah Tuhan beri sebaik-baiknya sahabat. Yah, mungkin ini adalah karma.
Tiba di parkiran, Langit melihat teman-temannya bergerombol melingkar sedang asik mencoret-coretkan piloks ke seragam OSIS mereka. Saling teriak-teriak dan berpelukan. Disana Langit juga bisa melihat Edo sedang memiloks ke seragam murid perempuan namun rambutnya berpotongan laki-laki. Keduanya sempat saling tatap, namun Edo lebih dulu segera memutuskan kontak mata. Dan lanjut memiloks seragam Amanah.
Langit memandang sendu para mereka. Semua bahagia atas kelulusan yang mereka dapat, namun dirinya sama sekali tidak. Bahagianya masih jauh dan entah bisa di gapai atau tidak. Dengan gerakan lemas, Langit menjalankan motornya keluar dari parkiran. Biarlah semua bahagia, Langit hanya bisa mengatakan selamat pada semua teman-temannya dalam hati.
Sampai di rumah, langkah pertama yang Langit tuju adalah ke kamar. Ketika ia melewati ruang keluarga matanya tidak menemukan Santi, mungkin Mamanya sedang ada di kamar atau mungkin lagi keluar untuk berangkat arisan. Sedangkan Ratih, wanita itu pastilah ada di dapur. Langit membuka pintu kamar, melempar tas di atas tempat tidur. Duduk di tepi tempat tidur untuk melepas sepatu setelah itu melempar sepatunya ke kolong tempat tidur.
Langit terdiam memandang dinding kamar yang berwarna kuning muda. Fikirannya kacau balau. Laskar, Wawan, Edo dan Pelangi. Orang-orang itu yang sedang Langit fikirkan. Orang-orang yang telah menjadi korban atas keegoisannya selama ini.
Sejenak, Langit memejamkan mata agar tubuhnya bisa lebih rileks dan sedikit tidak terbebani atas fikirannya. Sekarang, sudah tidak adalagi yang perlu ia perjuangkan. Sahabat, mereka bahkan menghindar jauh-jauh dan tidak memberi waktu untuk bisa Langit memperbaiki semuanya. Sedangkan Pelangi, gadis itu sama sekali belum mau melihat wajahnya. Tidak pernah ikut bekerja lagi bersama Ibunya dan itu gara-gara Langit. Selama sebulan ini ia belum pernah melihat sosok Pelangi.
Mata Langit terbuka, kepalanya menoleh dengan mata menatap laci di nakas. Dia membuka laci berukuran kecil itu dan tangannya mendapatkan botol kecil dari dalam sana. Botol yang berisi Arsentik. Masih ingat sekali, pada saat itu ia meracuni Laskar menggunakan racun yang kini ada ditangannya itu. Langit memandang lekat botol kecil itu.
Berfikir keras untuk mencari jalan agar ia bisa lepas dari beban penyesalan yang sangat menyiksanya ini. Berkali-kali berusaha mencari jalan, namun yang ia temukan hanyalah wajah-wajah para korban keegoisannya. Langit lelah dengan semuanya. Semuanya yang telah ia perbuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sightless
Teen Fiction"SIGHTLESS" (Pelangi, Gadis Buta Tanpa Talenta) BLURB; Hitam, gempal, jelek, kumuh, miskin dan dia buta. Namanya Pelangi, gadis buta tanpa talenta. Ibunya hanya ART di rumah seorang anggota DPR dan dia setiap hari ikut bekerja. Disana...