Wajah dan Hati Lebih Manis dari Gula

174 25 0
                                    

Sesuai dengan janji Author, Hari dan Karlin up pagi ini, ya, happy reading

***

Liburan pekan ini Hari dan Karlin menghabiskan waktunya di rumah. Keduanya benar-benar kompak. Sebagai suami dan ayah yang termasuk generasi milenial, Hari belajar untuk turut membantu istrinya mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, seperti menanak nasi, cuci piring, bersama-sama mencuci pakaian dan lain-lain.

Usai menjemur pakaian, Hari rehat sejenak dengan duduk di lantai. Tangannya memegang secangkir teh manis yang kepulan asapnya menguar ke seluruh ruangan. Sementara Karlin tengah menyapu ruang rumah. Si kecil Fikra sedang asyik menonton film animasi Baby Boss. Ketika hendak menyeruput teh, Karlin menghentikan Hari.

"Yah, tunggu.... tunggu, jangan diminum dulu," ucap Karlin.

Tepian cangkir yang tinggal beberapa senti lagi menempel di bibir Hari kini urung. Dia pun menarik cangkirnya menjauh dari mulutnya. Dan cangkir itu tetap di tangannya.

"Ada apa sih, Bun?" tanya Hari dengan wajah kecut.

"Hehe, maaf ya. Biasanya kan jarang Ayah minum teh kalau di rumah. Tumben."

"Lagi pengen aja, Bun. Nggak salah kan?"

"Enggak. Tadi gulanya beberapa sendok teh?"

"Tadi ayah pake sendok makan, kan sendok teh yang kecil-kecil udah pada hilang kan ya..."

"Berapa sendok?"

Hari mengerlingkan tatapan ke atas, "Satu sendok aja. Emang kenapa sih Bun? Udah ah, ayah minum ya, keburu dingin nih tehnya." Lelaki itu pun menyeruput tehnya.

"O ya udah. Nggak apa-apa sih, Yah. Bunda perlu tahu. Tadi kuatir kebanyakan gula. Kalau kebanyakan gula, nanti ayah kena diabetes lho."

"Haha, ya... ya... makasih Bun. Bunda emang perhatian banget deh. Tapi bukannya diabetes itu kebanyakan dari keturunan ya. Alhamdulillah sih, kalau ayah nggak ada keluarga yang punya riwayat diabetes. Omong-omong, ayah jadi teringat Pak Syarif, kenalan kita waktu kita tinggal di Jakarta. Dia punya riwayat diabetes. Ibunya juga meninggal karena punya riwayat diabtetes."

"Oh iya, Pak Syarif tuh baik banget ya. Waktu beberapa setelah kita menikah dan langsung tinggal di Jakarta. Bunda masih ingat dia ngajak jalan-jalan kita dengan mobil mewahnya keluaran Eropa. Kasihan juga ya beliau. Semoga dia diberikan kesehatan. Makanya, walaupun benar diabetes itu penyakit yang diturunkan dan tidak ada keluarga ayah kena penyakit itu, tapi kan kita tetap harus jaga kesehatan. Memangnya ayah mau tiba-tiba kena penyakit begitu karena gaya hidup yang nggak sehat?"

"Ya enggaklah, Bun," Hari menjawab santai sambil tetap menikmati tehnya. Sementara Karlin sedang menyapu sampah-sampah dan debu-debu ke pengki.

"Sepakat. Dua Jempol buat ayah. Dipertahankan ya. Ke depan jika menyeduh teh manis lagi, gulanya tetap proporsional, jangan banyak-banyak gulanya."

"Siap. Bun. Makasih dua jempolnya. Dan kayaknya sampai kapan pun ayah nggak akan pernah ngasih gula secara berlebihan. Bahkan kalau perlu, tehnya nggak usah dikasih gula aja sekalian, Bun."

"Lho... Lho kenapa?" Karlin mendongak ke arah suaminya. Dia baru saja selesai memasukkan sampah di pengki ke keranjang sampah.

"Manisnya cukup ditambahkan dari hati dan wajah ayah aja. Wajah dan hati ayah kan lebih manis dari gula, Bun," Hari sengaja memasang wajah datar.

Karlin tidak menjawab. Dia hanya geleng-geleng kepala.


Hari & Karlin | FiksiminiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang