Hari ingin sekali mencintai pekerjaannya sebagai seorang guru, namun hingga saat ini dia belum berhasil menaklukkan hatinya sendiri. Sewaktu Bulan Ramadhan dia sempat bekerja dengan asyik tanpa keluhan. Dia kira di bulan-bulan berikutnya akan demikian. Ternyata berkebalikannya. Berbulan-bulan dia jalani pekerjaannya itu. Kesimpulannya dia belum mencintai pekerjaannya.
Hari mengalami burnout alias ngebul. Keringat deras dan kelelahan kerap terjadi ketika dia sampai di sekolah meskipun ketika dia masih di rumah kondisinya baik-baik saja.
Pada suatu siang yang panas, ketika waktu istirahat, Hari mununggu Karlin dengan amat gusar. Hari bertanya-tanya ke manakah sang istri yang biasanya setiap hari menyimpan bekal untuknya dan ditaruh di meja kerja? Apakah Karlin masih rapat bersama guru SMP, menengok Fikra di Day Care atau dimana?
Hari mencoba menunggu dengan sabar meskipun perutnya yang lapar sudah meminta diisi. Di tengah penantian yang tak kunjung berakhir, sempat terpikir dalam benak Hari untuk membeli nasi saja di warteg terdekat. Ah, tidak bisa, dia tak memegang uang sepeser pun setelah cek di dompet dan tasnya. Itulah jeleknya kebiaasaannya ini, semenjak bekerja di sekolah, bernaung dalam satu lembaga dengan istrinya dia tidak pernah mengecek dompet dan jarang membawa uang karena manajerial keuangan nyaris semuanya berada dalam kendali istrinya. Hari tidak berkeberatan, justru merasa termudahkan karena selama ini dia bergelut dengan perasaan tidak betah di tempat bekerja pun cukup menyita perhatiannya. Sementara Karlin pun menjalani hal itu tidak pernah menyatakan keberatan.
"Makanya, sesekali ayah bawa uang takut butuh,"ucapan istrinya itu terngiang. Kini baru terasa, saran istrinya itu sangat berarti.
Hingga waktu istirahat berakhir, Karlin tetap tidak muncul. Ah, lupakan makan siang, pikir Hari. Dia kemudian segera naik ke lantai dua karena ada jam pelajaran yang harus dia isi. Dia harus menyampaikan materi Bimbingan dan Konseling di salah satu kelas.Kurang lebih 45 menit dia habiskan waktu di kelas bersama para siswa. Selama di kelas dia tidak membuka handphone karena memang hal itu tidak diperkenankan. Itu memang sudah menjadi peraturan sekolah yang harus ditaati.
Usai mengajar, dia pun kembali ke ruang guru. Dia membuka handphone dan mengaktifkan wifi sekolah. Dia lihat ada makanan di wadah, tapi ia yakin bukan jatah makan untuknya. Dia teringat dulu juga pernah salah mengambil makanan, betapa malunya. Makanan lotek yang yang dia makan ternyata adalah milik rekan guru yang duduk di sebelahnya, Pak Ahkam. Parahnya lotek itu kok disimpan di lapak meja persis di depan kursi tempat duduk Hari. Di ruangan itu memang meja guru tidak satu-satu. Semua guru berkumpul di satu meja besar. Hari minta maaf atas kejadian itu. Dia segera mengganti lotek Pak Ahkam. Karlin membelikan lotek dari warung makan yang berlokasi dekat kompleks sekolah.
Pesan-pesan di WhatsApp pun masuk, termasuk pesan dari istrinya. Belum juga selesai pesan dari istrinya dia baca, Karlin muncul dari balik pintu dan mengucapkan salam. Entah kenapa Hari merasa kesal, mungkin karena faktor lapar yang sangat.
"Sudah makan belum?" tanya istrinya.
"Makan dari mana?" Hari sewot. Untung di ruangan itu tidak ada guru lain. Mereka mungkin masih mengajar di kelas.
"Ini nasinya..." Karlin menyerahkan kotak nasi yang biasa digunakan untuk bekal makan siang di sekolah.
"Telat ah, Bun. Ayah udah nggak lapar. Bawa aja gih!" Tak sedikit pun Hari memandang kotak nasi itu. Kekesalannya belum mereda.
"Oh ya Udah, Bunda bawa lagi aja," ucap Karlin datar. Dia berbalik arah kembali ke ruangan guru SMP yang lokasinya berada di seberang guru SMA.
Hari kembali duduk di ruang guru. Dia membaca melanjutkan membaca pesan istrinya. Istrinya menulis pesan seperti ini:
Ayah, Maaf Bunda telat karena sekarang masih di perjalanan. Tadi ada acara, Bunda jadi perwakilan sekolah untuk menghadiri acara. Untuk makan, Ayah ngambil dulu aja ke katering sekolah.
Dia merenungi kenapa dia harus bertindak demikian.
Kemudian Hari menulis pesan:
Baru kali ini, kerja di sini kerja sampai telat makan. Di tempat sebelumnya tidak pernah kayak gini sesibuk apa pun.
Pesan itu terkirim dan dibaca oleh Karlin.
Jujur bunda udah nggak kuat. Serba disalahkan. Semakin hari semakin berat. Bunda sudah muak dengan keluhan ayah.Segala hal dikeluhkan. Mungkin bunda bukan tipe istri yang sabar. Tapi inilah yang bunda rasakan. Semoga ada jalan yang terbaik buat kita, sekalipun pilihannya haru pisah.
Membaca pesan itu, perasaan Hari campur aduk. Merasa bersalah. Dia akui memang selama ini ketidakcocokan ketika bekerja di sekolah selalu ditumpahkan pada istrinya.
Maaf bunda harus jujur. Dan baru kali ini bunda jujur. Selama ini bunda tahan terus. Berharap mungkin ayah akan berubah. Namun sebaliknya terasa sangat berat.
Dan benar saja, Hari tidak makan siang sampai jam bekerja di sekolah selesai. Entah apa yang akan terjadi nanti ketika keduanya sudah pulang ke rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hari & Karlin | Fiksimini
SpiritualHARI & KARLIN | Catatan Ringan Keluarga Milenial by Jahar copyright 2017 #40 Chicklit 191217 Hanya cerita ringan yang terkadang mengangkat isu-isu terkini. Cerita ini merupakan repost dari cerita yang saya publish di UC News. Ceritanya nano-nano, a...