Sepulang dari sekolah sore tadi Hari dan Karlin masih belum bertegur sapa sebagaimana saat berada di atas motor. Biasanya kalau keduanya sedang baikan, di atas motor pun mereka sering membicarakan banyak hal mulai dari kejadian konyol di sekolah, nanti di rumah mau ngapain, dan lain-lain. Pulang sekolah hari ini pokoknya beda. Sunyi. Senyap. Yang tertinggal hanya suara deru mesin motor yang membelah jalanan.
Setelah memarkirkan motor, Hari membaringkan tubuh di kamar dengan hati yang galau. Dia sangat 'terpukul' dengan satu kata dari deretan kalimat yang dikirim istrinya di chat. 'Pisah' adalah kata yang membuatnya amat berat.
Bagi Hari, untuk bisa menikah tidaklah mudah. Ketika dia sudah menjatuhkan hati pada seseorang, lalu menitipkan hati itu padanya, maka akan sangat sulit menjatuhkan hati pada yang lain. Ikhlas mencintai adalah hal yang sulit. Ketika telah jatuh hati, akan sulit baginya untuk melabuhkan hatinya ke lain hati.
Hari bertekad mencari solusi atas kegalauannya. Entah mendapatkan ilham dari mana, dia pun mengetik kalimat demi kalimat dan mengirimnya melalui pesan WhatsApp.
Ayah paham. Ayah ngaku egois, tapi belum tahu cara berubah dan memperbaiki diri. Karena itu, Ayah minta maaf karena belum bisa menjadi suami idaman. Dan saleh tentunya. Mungkin Bunda sangat menyesal telah menikah dengan Ayah.
Pesan itu dibaca oleh Karlin. Membaca pesan itu, Karlin tak mengerti bagaimana perasaannya saat ini. Rasa kesal dan muak siang tadi memang masih bersisa. Namun saat ini, perasaan sayang dan cinta yang amat besar telah meluruhkan emosi negatif yang ketika siang amat bergejolak dalam jiwanya.
Kekuatan cinta telah bekerja. Karlin menghambur menuju suaminya. Setelah keduanya merapat, Karlin tak kuasa membendung air mata. Tangisnya pun tumpah saat memeluk suaminya.
Hari jadi terbawa suasana. Dia pun tak mampu menahan lagi lelehan di pelupuk matanya.
"Maafkan Ayah, Bun," ucap Hari terbata-bata sambil terisak-isak.
"Maafkan Bunda juga," timpal Karlin, "Bunda belum bisa memahami Ayah dengan baik."
"Justru Ayah yang selama ini keterlaluan. Banyak berkeluh kesah dan menggerutu soal pekerjaan."
"Tidak apa-apa jika memang itu bisa sedikit meringankan beban yang Ayah rasakan," balas Karlin, tangisnya belum juga mereda.
"Ayah memang nyaris depresi kalau tidak segera diatasi. Tiap hari selalu merasakan kelelahan fisik dan psikologis. Ayah membayangkan ingin sekali istirahat sambil memikirkan lagi rencana ke depan seperti apa."
"Kalau memang Abi mau resign, atur-atur saja. Insya Allah cari pekerjaan lain yang lebih cocok. Pekerjaan itu bisa dicari. Sekarang tenangkan diri. Positif Thinking dan mulai cari-cari peluang."
Hari mengangguk. Dia sangat mengagumi istrinya yang telah berbesar hati memahami perasaannya. Dia merasa hari itu palang-palang imajinatif yang memenjarakannya selama ini mulai berberaian.
"Kalau dulu saat Ayah melamar sebagai guru, kita bersepakat untuk tidak melirik lagi tawaran-tawaran pekerjaan lain. Berhubung kondisi Ayah saat ini demikian adanya, maka pintu yang sudah tertutup itu kita buka lagi," pungkas Hari.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hari & Karlin | Fiksimini
EspiritualHARI & KARLIN | Catatan Ringan Keluarga Milenial by Jahar copyright 2017 #40 Chicklit 191217 Hanya cerita ringan yang terkadang mengangkat isu-isu terkini. Cerita ini merupakan repost dari cerita yang saya publish di UC News. Ceritanya nano-nano, a...