…
Jujur itu sulit. Pahit.
Hargailah mereka yang bersuara jujur.
…Dwi melangkah memasuki rumah dengan wajah tertunduk sedih dan kecewa. Perasaannya campur aduk antara marah pada dirinya, sedih dan kecewa. Pikirannya terus saja mengulang kejadian yang baru saja ia alami seperti kaset rusak. Ia hempaskan tubuhnya di sofa. Duduk dengan posisi membungkuk dengan tangan menutup wajahnya.
Dwi mengusap kasar wajahnya, ia sugar rambutnya ke belakang, akhirnya ia acak pula rambut itu ingin menghilangkan pikirannya. Benaknya tak mau berhenti memikirkan ini.
Dwi mengerang frustasi. “Apa yang harus kulakukan?” tanyanya pada diri sendiri. Ia berjalan kembali ke kamarnya dengan gontai. Ia menuju cermin almari. Melihat pantulannya di cermin itu. Ia marah melihat kondisinya tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hela napasnya kasar. Ia banting tubuhnya di kasur. Ia pejamkan matanya seraya terus memikirkan apa yang akan ia lakukan esok hari.
***
Keesokan harinya, Dwi memutuskan berangkat bekerja sedikit siang. Karena pikirannya masih kacau, dirinya yakin ia akan sulit fokus bekerja. Tidak dipedulikannya hari ini hari senin, hari sibuknya. Ia masih memikirkan Ricka yang tidak memberikan jawaban apapun, melainkan meninggalkannya. Ricka menganggap Dwi bercanda dengan ucapannya. Itu membuat Dwi semakin terpuruk. Hatinya kacau. Kejujurannya dianggap candaan. Hahaha....
Masih dengan pikiran semrawut, Dwi melangkah ke bagian belakang rumah. Ia duduk di kursi teras belakang ditemani Mbok Djum yang menjemur pakaian. Ia tatap Mbok Djum. Apa nasibnya akan seperti Mbok Djum di hari tua. Benaknya.
Pikiran Dwi melayang mengingat momen-momen kebersamaannya dengan Ricka. Ia tersenyum pahit. Menatap punggung Mbok Djum. Mbok Djum yang memiliki anak saja masih harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Lalu bagaimana dengan dirinya yang masih melajang. Ada harapan di hatinya bahwa Rickalah jodohnya. Tapi sepertinya itu hanya akan menjadi angan semata untuknya.
“Mas… mengenai tawaran mas kemarin.” Mbok Djum berkata ragu-ragu.
Dwi tersentak bangun dari pikirannya mendengar ucapan Mbok Djum. Lantas ia berkata, “Kenapa, Mbok?”
“Mbok boleh tinggal di sini? Mas benar-benar nggak keberatan?”
“Kan kemarin Dwi sudah bilang, Mbok. Mbok tinggal di sini saja. Nemenin Dwi. Dwi sendirian di rumah. Mbok kan tahu sendiri. Mbok udah saya anggep keluarga.”
“Iya, Mas. Terima kasih.”
“Sama-sama, Mbok. Kapan mau pindah? Biar Dwi bantu.”
“Besok pagi Mbok udah bawa baju ke sini, Mas. Gaji simbok besok dipotong ya, Mas. Kan simbok tinggal di sini.”
“Ya nggak ada hubungannya Mbok, Mbok tinggal di sini ma gaji. Gaji mah tetep, nggak ada potongan.”
“Simbok nggak enak, Mas.”
“Makan Mbok kalau mau enak. Hehehehe…,” kata Dwi diakhiri kekehan.
“Mas ini, bisa saja.”
“Dwi masuk ya, Mbok. Nanti tolong ke pasar. Beli bahan makanan, sabun, dll. Uangnya Dwi taruh tempat biasanya. Kalau simbok udah selesai kerja, bilang ma Dwi. Nanti Dwi anter, sekalian Dwi berangkat kerja.”
“Nggih, Mas. Beres.”
“Eh… Mas kok siang berangkatnya?”
“Lagi banyak pikiran, Mbok."
“Oh…” Mbok Djum mengangguk paham. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya.
Dwi berdiri, melangkah memasuki rumah. Siap-siap untuk bekerja. Percakapannya dengan Mbok Djum barusan mampu mengalihkan sedikit pikirannya dari Ricka. Ia benar-benar sudah mulai gila jika menyangkut Ricka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till I Reach It [Complete] - Revisi
RomanceDwi berpikir bahwa ia harus mencari pasangan karena usianya yang sudah cukup matang yaitu 32 tahun. Tidak mungkin sampai tua ia akan melajang terus, ada saatnya ia tidak bisa berbuat apa-apa dan ia butuh seseorang yang mau mengurusnya. Ia butuh seor...