TIRI-DUA PULUH DUA

2K 174 31
                                    


Rasanya campur aduk.
Tapi, Rasa itulah yang membuat semuanya indah dan berwarna.

Dwi berhenti di rumah bercat krem dengan halaman sedikit luas. Ia berdiri di depan rumah itu, pikirannya menimang apakah langkahnya sudah tepat. Ia membulatkan tekat dalam hati.

Dengan langkah mantap, Dwi memasuki pekarangan rumah. Ia menatap sekitar. Rumah itu sepi. Tapi begitu ia sampai di depan pintu, ia mendengar suara televisi menyala. Ia pencet bel di samping pintu. Dwi menunggu beberapa saat hingga muncul seorang pria paruh baya membukakan pintu.

“Monggo, Mas Dwi tha. Mriki mlebet.”

“Nggih, Pak.” Dwi melangkah masuk dan duduk di kursi kayu tunggal membelakangi pintu.

“Ada perlu apa nih, Mas?” tanya pria itu.

“Begini Pak RT.” Dwi menjeda kalimatnya untuk mengambil napas. Ia masih ragu untuk bercerita. Demi Ricka, ia harus melakukan ini. “Saya butuh pertolongan Pak Agus selaku RT di sini.”

Tolong opo, Mas?”

“Saya ingin melamar seorang perempuan, Pak.”

“Alhamdulillah kalau sudah ketemu jodohnya. Lalu bantuan apa yang dibutuhkan?”

“Saya ingin Pak RT melamarkan perempuan itu untuk saya, sebagai wali saya.”

“Lalu orang tuamu?”

“Beliau akan hadir saat lamaran resmi, Pak. Ini cuma sekedar nembung. Kalau niat baik saya diterima, saya langsung bawa keluarga besar.”

“Oh begitu. Kira-kira kapan?”

“Kalau Pak RT berkenan, nanti malam ba’da maghrib.”

“Baiklah. Nanti pakai mobil saya saja.”

“Nggih, Pak. Matur nuwun sanget.”

Podho-podho, mas.”

“Kalau gitu, saya pamit, Pak.”

“Kok buru-buru, Mas?”

“Mau siap-siap, Pak.”

“Oh nggih. Jam berapa berangkatnya?”

“Jam lima aja, Pak. Biar nggak kemalaman di sana.”

“Oh nggih.”

“Saya pamit, Pak. Monggo.” Dwi berdiri, sedikit menundukkan kepalanya dan melangkah keluar rumah. Dwi pulang untuk memberitahu Mbok Djum untuk bersiap-siap ke rumah Ricka.

***

Dwi tiba di rumah Ricka bersama Pak RT dan Mbok Djum. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lebih sepuluh menit. Mereka duduk di ruang tamu ditemani ibu Ricka yang mengernyitkan keningnya heran. Ia tak mengerti, untuk apa Dwi datang bersama Pak RT dan Mbok Djum.

Jantung Dwi berdegup cepat. Ia tak berani berharap lebih jika lamaran ini akan diterima. Bukan ia pesimis, tapi ia tak begitu mengenal sifat orang tua Ricka. Dalam hati Dwi, ia berharap jika lamarannya diterima.

Ayah Ricka datang dengan pakaian batik dan sarungnya. Wajahnya datar, membuat Dwi semakin tak enak hati melihatnya. Perasaannya sudah tak karuan sejak memasuki rumah dan melihat reaksi ibu Ricka.

Ayah Ricka berdeham pelan, lalu berujar, “Jadi, ada perlu apa Nak Dwi datang kemari bersama Pak RT dan simboknya?”

Dwi menundukkan kepala, ia tak berani menatap ke depan. Jantungnya berdebar keras. Bulir-bulir air mulai bermunculan di keningnya. Dwi masih diam membisu. Hingga Pak RT mencoba inisiatif berbicara, “Saya Agus Hendarso, Pak. Saya selaku ketua RT tempat tinggalnya Nak Dwi, dan wanita di sebelah Nak Dwi, adalah Mbok Djum.” Pak Agus mulai memperkenalkan diri dan Mbok Djum. Kemudian beliau menatap Pak Rochim, ayah Ricka dengan tenang. Begitu pun Pak Rochim.

Pak Rochim masih menunggu penjelasan Pak Agus. Beliau setia mendengarkan ucapannya. “Saya mewakili kedua orang tua Nak Dwi, ingin menyampaikan niat baik kami.” Pak Agus menjeda ucapannya. Seluruh orang di sana diam. Suasana hening, hanya terdengar helaan napas mereka. Bahkan Dwi mampu mendengar degup jantungnya yang keras.

“Niat baik apa ya, Pak?” tanya Pak Rochim.

“Nak Dwi ingin melamar Nak Ricka untuk dijadikan istrinya, Pak Rochim.”

“Kamu ingin menjadikan anakku istrimu?” tanya Pak Rochim dengan nada sedikit tinggi.

“Be-betul, Pak,” ucap Dwi terbata. Ia dilanda kegugupan, kecemasan dalam hatinya.

“Dengan fisikmu yang tidak sempurna itu?” tanya Pak Rochim dengan nada penuh tekanan.

Jantung Dwi serasa ditikam pedang, disayat-sayat menjadi kecil. Hatinya begitu sakit mendengar penghinaan itu. “Apa kamu nggak pernah berkaca?” Masih dengan nada pedas, Pak Rochim berbicara dengan sembali menudingnya. “Apa orang tuamu tidak pernah mengajarimu bibit bebet dan bobot? Kamu. Yang seorang cacat berani melamar putriku?”

Ingin Dwi marah akan kondisinya. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Kenyataan akan ucapan itu benar mengusik hatinya. Ia mengepalkan tangannya erat guna menahan rasa sesak di hati. “Jika Aku ingin menikahkan anakku, Aku lebih memilih menikahkannya dengan Yusuf. Yang jelas-jelas sempurna. Tak kekurangan seperti dirimu.” Napas Dwi mulai cepat. Ia tak suka jika ia dibanding-bandingkan.

Mbok Djum hanya mampu menahan air matanya dan menggenggam erat tangan Dwi. Mencoba menguatkan. “Bahkan, Yusuf sudah melamar Ricka kemarin. Kami masih menunggu jawaban Ricka. Aku berharap anakku nggak memilihmu.”

Dwi tertegun mendengar ucapan Pak Rochim. Ia tak menyangka jika ia keduluan. Apa karena ini Ricka memintanya untuk membuktikan semua ucapannya. Pak Rochim menuding Dwi lagi.

“Berkacalah dulu sebelum bertindak, Le. Aku menghargaimu karena kamu baik. Bukan berarti Aku akan setuju begitu saja Ricka menikah denganmu.”

Perkataan itu begitu menohok perasaannya. Raut wajahnya berubah keruh. Tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Setidaknya Ricka belum memilih. “Saya minta maaf, Pak kalau saya kurang menyadari kondisi saya yang seperti pungguk merindukan bulan.”

Dwi menghela napasnya samar, kemudian ia berkata lagi, “tapi saya belum mau menyerah selama Ricka belum menentukan pilihannya. Saya akan menunggu jawaban Dek Ricka. Dek Ricka memilih saya atau Yusuf.” Dwi berujar dengan mantap. Memantapkan hatinya pula untuk terus berjuang.


To be continued

843 Words
Senin, 08 Januari 2018
02.15 am

Till I Reach It [Complete] - RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang