EPILOG

4.9K 197 8
                                    


Sakit, kemudian sembuh barulah ke sehat.
Begitu pula cinta.
Perjuangan dahulu, kesuksesan kemudian baru kita nikmati.

Pernikahan Dwi dan Ricka digelar dengan dua acara. Pertama untuk adat jawa dan kedua resepsi bebas. Untuk acara kedua diadakan di rumah Dwi. Acara ini diadakan setelah lima hari mereka menikah. Istilahnya Ngunduh mantu untuk pihak laki-laki.

Acara kedua ini tak kalah meriahnya saat acara pertama di rumah Ricka. Baik Ricka maupun Dwi tak henti-hentinya menyunggingkan senyum kebahagiaan. Walaupun tubuh mereka penat karena acara ini, tetap tak mampu melunturkan rona bahagia mereka.

Dwi memasuki kamarnya yang sudah diganti ranjangnya dengan ukuran king size. Bahkan kamarnya sudah ditambah almarinya. Terdapat dua koper besar di sisi almari Dwi. Dwi tersenyum saat melihat lampu kamar mandi menyala. Ia duduk di ranjang. Ia buka sepatunya, lalu ia bawa ke rak di samping pintu kamar mandi.

Dibukanya kemeja yang Dwi kenakan, membuat perutnya yang ramping terlihat. Ricka keluar saat Dwi selesai membuka bajunya. Ricka sudah tak terkejut lagi, ia sudah terbiasa melihat hal ini dari lima Hari lalu.

“Mau mandi mas? Dingin atau anget?” tanya Ricka mengambil baju di tangan Dwi dan meletakkan di keranjang kotor dekat pintu kamar mandi.

“Dingin saja, Dek.” Dwi melangkah masuk kamar mandi. Meninggalkan Ricka yang di kamar sendirian.

Saat Dwi selesai mandi, ia melihat Ricka sedang menyisir rambutnya. Koper-koper sudah berpindah ke atas almari. Meja riasnya yang semula hanya untuk pajangan akhirnya terisi dengan pernak-pernik wanita milik Ricka.

Senyum tersungging di bibir Dwi. Ia duduk di tepian ranjang, lalu mengamati Ricka. Saat ia melihat ponselnya. Ia teringat akan sesuatu.

“Dek…,” panggil Dwi.

“Ya mas,” jawab Ricka.

“Akun instagrammu RickaWati?” tanya Dwi memastikan.

“Eh… iya mas. Gambar animasi seorang perempuan lagi minum kopi. Tahu darimana?”

“Kamu masih inget nggak sama akun instagram yang namanya AmartaDwi?”

“Akun instagram? Lupa mas. Emang kenapa?”

“Kamu pernah DM Aku tanya soal difabel.”

“Oh itu.”

“Iya.”

Ricka berdiri dari duduknya lalu melangkah ke arah ranjang. Duduk di sisi ranjang bagian kanan lalu merebahkan tubuhnya di sana. Dwi ikut membaringkan tubuhnya. Ia angkat kepala Ricka, ia gunakan tangan kanannya sebagai bantal Ricka. Ia miringkan tubuhnya menghadap Ricka.

“Aku nggak nyangka kalau Aku bakal berjodoh ma kamu.”

“Aku lebih nggak nyangka lagi, Mas. Padahal waktu itu, jawaban yang Aku kasih murni spontan nggak ada yang Aku pikirin dulu.”

“Hahaha… besok-besok kalau mau bicara lebih diperhatikan lagi. Karena omonganmu adalah doamu. See… kamu berjodoh ma Aku yang seorang disabilitas.”

“Iya mas.” Ricka tersenyum. Ia memandangi wajah Dwi yang kini sudah menjadi suaminya. “Mas, Aku mau tanya.”

Dwi membalikkan badannya terlentang. Ia tolehkan kepalanya menghadap Ricka kala Ricka bilang ingin bertanya. Namun hanya sekilas, Dwi kembali menatap langit-langit kamar. “Tanya apa?”

“Dulu sikap orang tua mas itu gimana? Aku ngiranya mereka yang kaku gitu ma anaknya.”

“Kaku?”

“Galak, cuek ke anak, nggak peduli gitu. Cuma mau memberikan materi tapi kasih sayang terabaikan.”

“Oh….” Dwi menerawang mengingat-ingat masa-masa saat ia masih bersama orang tuanya. “Waktu Aku kecil, Aku diasuh Mbok Larsih. Sampai dewasa juga gitu. Aku dan Mbak Yanti udah terbiasa kayak gitu.”

“Terus orang tua mas nggak perhatiin sama sekali?”

“Siapa bilang?”

“Lhah itu, pernyataan mas.”

“Emang mereka nggak ngasuh kami. Terkesan nggak peduli dan hanya memberikan materi. Tapi.” Dwi menatap Ricka sembari tersenyum manis. Ia menyelipkan helaian rambut Ricka di telinganya. Ricka masih setia menunggu ucapan Dwi. “Saat kami sakit, saat kami ingin sesuatu. Pasti orang tua pasti maju lebih dulu. Mereka memantau kami dari kejauhan.”

“Perhatian mereka berikan dengan cara itu?”

“Iya. Waktu Aku masuk sekolah, demi menyenangkanku, Aku sekolah di sekolah biasa. Bukan di sekolah luar biasa.” Dwi ingat saat ia tak sengaja melewati ruang tata usaha sekolah dasarnya. Waktu itu orang tuanya sedang ke sekolahnya untuk menyelesaikan beberapa urusan administrasi demi kelancaran sekolahnya.

Dwi yang memang tak sengaja melihat siluet orang tuanya memutuskan untuk menguping pembicaraan. Ia bersembunyi di belakang pintu kantor tata usaha.

“Apa masih ada administrasi lain selain uang sekolah anak saya selama satu tahun ke depan?” tanya suara bariton laki-laki, romonya.

“Sudah tidak ada, Pak Danu.”

“Baiklah. Ini kartu nama saya, dibalik kartu itu ada nomor telepon istri saya. Kalau ada apa-apa bisa hubungi saya atau istri saya.” Dwi mengintip, ia melihat Bu Ratna ---pegawai tata usaha--- mengangguk. “Saya tidak masalah membayar lebih mahal untuk anak saya, Dwi. Tapi saya juga tidak segan untuk melaporkan hal yang merugikan saya.” Kembali, Bu Ratna mengangguk paham. “Kalau begitu, saya permisi.”

“Iya, Pak. Silakan.”

Begitu Dwi melihat ayahnya berdiri dan menjabat tangan Bu Ratna, ia segera pergi dari sana.

Sebuah tangan halus menyentuh pipi Dwi, membuat Dwi tersadar dari lamunannya akan kilasan masa lalunya. Ia tolehkan kepalanya menghadap Ricka, tersenyum manis walaupun mata itu tak mampu menyembunyikan kilauan air yang siap tumpah. Dwi kembali menatap ke atas.

“Kenapa mas bisa salah paham sama Romo?”

“Sebenarnya, itu…,” Dwi menggantung ucapannya. Ia masih mengingat-ingat memori masa silamnya yang memang ingin ia kubur dalam-dalam. Namun karena istrinya bertanya, ia harus jawab. Ia tidak ingin ada rahasia di antara mereka. “Waktu itu Aku masih labil dalam mengendalikan emosi. Dan Aku nggak berpikir bahwa Romo berniat baik, jadi Aku pikir, Romo menyalahkanku atas suatu kesalahan yang tidak kuperbuat.” Dwi menghela napasnya pelan. Di angkatnya lengan kirinya, ia tutup kedua matanya dengan lengan tangan. Mencoba meredam rasa penyesalan akan sikap-sikapnya yang masih kurang dewasa. Akibat sikapnyalah ia berpisah dengan keluarganya yang sama sekali tak salah.

“Aku pergi dari rumah. Ngontrak pakai uang tabungan, rumah ini dulunya Aku kontrak.” Dwi mengalihkan lengannya, ia menatap mata Ricka dalam-dalam. Tebersit kesakitan dari mata Dwi. “Seminggu kemudian, Aku terbukti tidak bersalah. Uang romo dikembalikan. Namun nasi sudah menjadi bubur.” Napasnya memberat. Batu besar seakan menghimpit dadanya saat menceritakan egonya. “Demi egoku, Aku nggak mau pulang. Demi rasa sakit yang sebenarnya semu. Dan karena ego, Aku lupa, bahwa Mbak Yanti nikah tiga minggu kemudian.” Rasa itu semakin memuncak begitu tahu banyak hal dari keluarganya yang ia tak ketahui. Seberkas sinar itu lindap dari matanya. Tersisa rasa sakit, bersalah, kecewa dan penyesalan.

Ricka mengulurkan tangannya demi memeluk suaminya. Ia tak menyangka jika kehidupan Dwi akan sesedih ini. Ia paham bagaimana tersiksanya saat hidup dilingkupi rasa bersalah. Dwi membalas pelukan Ricka erat, ia hidu aroma mawar yang menguar dari tubuh istrinya. Wangi shampo membuatnya tenang dan tak butuh waktu lama tertidur. Meninggalkan Ricka yang masih berkutat dengan pikirannya.

1.058 words
Senin, 15 Januari 2018
00.01 am
🌠🌠

Till I Reach It [Complete] - RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang