TIRI-SEMBILAN BELAS

2.2K 156 9
                                    

...
Keras bukan berarti tak dapat dilunakkan.

Begitu pula sebaliknya.
...

Dwi dan Mbok Djum duduk berdua di ruang tengah itu. Di meja sudah terhidang teh hangat untuk Mbok Djum dan kopi untuk Dwi. Mbok Djum menatap lekat Dwi. Ia paham majikannya pasti ingin membicarakan masalah orang tuanya. Karena sebelum Dwi pergi, ia pamit dulu.

"Ada apa, Mas?" tanya Mbok Djum. Mbok Djum pindah duduk di samping Dwi untuk mengusap punggung rapuh itu.

"Apa ada mbok, orang tua yang merendahkan anaknya sendiri kalau bukan orang tuaku?" Dwi bertanya retorik.

"Kenapa mas ngomong seperti itu? Orang tua mas pasti punya alasan mereka melakukan itu."

"Alasan apa, Mbok?"

"Mas... simbok juga orang tua. Simbok yakin orang tua mas juga sayang sama mas. Mereka---"

"Mereka nggak sayang Dwi, Mbok." Dwi membantahnya. Ia gelengkan kepalanya tak percaya ucapan Mbok Djum. Hatinya sakit seperti ditikam, lalu luka itu ditaburi garam. Perih ia rasa mengingat perlakuan orang tuanya.

"Sayang, Mas. Percaya sama simbok." Mbok Djum dengan sabarnya terus memberi pengertian. Ia paham jika orang seperti Dwi lebih sensitif.

"Melihat sikap mereka, Dwi yakin nggak ada rasa sayang itu untukku, Mbok." Diacaknya rambutnya. Dwi menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air mata sudah menggenang kembali di pelupuk mata.

"Apa yang mas bilang itu salah. Mas harus percaya. Apa pun sikap orang tua mas. Mereka pasti melakukan ini demi kebaikan kamu, Le."

Dwi mengesah. "Dwi nggak ngerti, Mbok. Dwi mau istirahat saja."

"Yo wes. Tenangin pikiran dulu."

Dwi mengangguk lalu bangkit berjalan ke kamarnya. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan sikap orang tuanya. Tidak ada sedikit pun tebersit di pikirannya untuk membenci orang tuanya. Ia sadar sepenuhnya, walaupun orang tuanya keras tapi mereka tak pernah membiarkannya kesulitan.

Pikiran Dwi melayang ke kejadian saat ia baru saja lulus sekolah menengah pertama.

Waktu itu, Dwi sedang duduk di halaman belakang rumah orang tuanya. Dengan ditemani Mbok Larsih yang sedang menyiram tanaman. Di pangkuannya terdapat sebuah rapor berwarna biru tua. Ia buka rapor itu, dilihatnya sekilas lalu ia letakkan di meja sampingnya dengan sedih. Ia menghela napas dalam-dalam.

Mbok Larsih yang melihatnya segera mendatangi Dwi. Ia lap tangannya dengan kain daster batik yang dipakainya. Ia duduk di samping Dwi. Diulurkannya tangan tua itu menyentuh puncak kepala Dwi. Diusapnya dengan penuh kasih sayang.

"Ada apa, Le?" tanya Mbok Larsih.

"Hari ini pembagian rapor, Mbok. Tapi romo ataupun ibu tetap nggak mau ngambil rapor Dwi. Malah Pak Kirman yang ngambil," jelas Dwi.

Mbok Larsih tersenyum. Masih dielusnya kepala itu. Lalu berucap, "Orang tuamu sedang sibuk, le. Coba Mbok lihat rapornya. Apa masih ada masalah lain, le?"

Dwi mengambil rapornya di meja, ia serahkan rapor itu pada Mbok Larsih. Mbok Larsih membukanya lalu tersenyum bangga melihat nilai-nilai yang tertera di sana. Rata-rata nilainya semua delapan ke atas. Rasa bahagia menyusup ke hati orang tua itu. Ditutupnya rapor itu, lalu berpaling ke Dwi dan berkata, "Mas Dwi mau lanjutin sekolah di mana? Biar mbok yang bilang ma Ndoro Kakung?"

"Dwi pengen masuk di SMA N 1, Mbok. Tapi...."

"Tapi apa le?"

"Mahal Mbok. Apalagi kondisiku kayak gini. Pasti sulit untuk masuk ke sana."

Till I Reach It [Complete] - RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang