TIRI-DELAPAN

2.7K 202 66
                                    


Cinta memang butuh diperjuangkan.
Tapi lihat dulu. Dia mau nggak, diperjuangkan.


Hampir dua minggu Dwi maupun Ricka tidak berkomunikasi. Dwi yang memang memberikan waktu pada Ricka berpikir, tidak menghubungi atau menemui Ricka. Dwi juga mulai belajar mengikhlaskan Ricka. Ia sudah pasrah jika memang Ricka tidak mau kenal lagi dengannya. Sedangkan Ricka mulai bingung dengan rasa di hatinya. Ia rindu melihat senyum Dwi, chatting dengannya bahkan jalan bersama dengan Dwi.

Dwi selalu memperhatikan setiap gerak gerik Ricka dari jauh tanpa sepengetahuan Ricka. Ia rindu melihat senyum dan tawa Ricka. Tapi ia menahannya sekuat tenaga. Ia tidak ingin memperkeruh keadaan. Ia sadar Ricka masih butuh waktu untuk menerima kekurangannya. Tapi Dwi pun sudah mulai ikhlas dan pasrah jika Ricka tidak mau kenal lagi dengannya. Dwi sadar diri bahwa ia cacat, tidak sempurna. Tidak pantas bersanding dengan Ricka yang sempurna. Tapi jika Ricka mau lebih mengenal dirinya, ia akan sangat bahagia. Ia akan berusaha sebaik mungkin merubah diri menjadi lebih baik lagi hingga pantas bersanding dengan Ricka diantara kekurangannya.

***

Sejak dua minggu yang lalu pula, sofa depan menjadi ruang kerja Dwi. Ia selalu bekerja di sana seraya mengamati Ricka. Sesekali jika ia lelah mengetik, pusing dengan pekerjaannya, ia akan melihat keluar jendela. Menatap sang pencipta ruang rindu di hatinya. Rindu itu tercipta tanpa dibentuk. Ia datang begitu saja. Kebiasaan bersama, sedikit banyak berpengaruh dalam terciptanya rindu itu.

Matanya menerawang ke depan, memancarkan sorot kerinduan. Belum terlalu dalam untuk melangkah mundur. Tapi ia belum mampu untuk mundur. Sudah kadung nyaman dengan keadaannya, namun kini berbeda. Sorot itu melemah. Digantikan dengan kepasrahan. Dwi mengembuskan napasnya kuat. Ia kembali ke alam sadarnya. Matanya kembali melirik laptop. Mulai jenuh dengan rutinitasnya yang kembali seperti dulu.

Dwi duduk ditemani secangkir kopi dan laptop yang menyala. Ia merogoh kantung kemejanya, membuka kembali ponselnya. Ia utak atik, melihat-lihat galeri. Ada foto Ricka di sana. Ia ambil fotonya diam-diam. Candid. Ricka yang sedang tersenyum menatap pemandangan sewaktu di hutan pinus, waktu makan bersama, dll. Dwi tersenyum kembali mengingatnya. Senyum yang semula manis itu Kimi berubah menjadi senyum getir.

Mengingat kebersamaan mereka saat jalan-jalan. Ke pasar malam, hutan pinus. Dan saat mereka berangkat dan pulang bersama. Kembali, Dwi menggelengkan kepalanya mengusir bayang-bayang memori kebersamaan dengan Ricka.

Masih dengan pikirannya, Dwi mencoba untuk mulai berpikir ke depan. Ia dengan kuat akan melepas Ricka jika memang itu keinginan Ricka. Tapi ia akan berjuang kalau semampunya kalau diberi kesempatan.

***

Siang itu Ricka sedang tidak fokus. Kepalanya pusing sebelah. Saat Ricka ingin beranjak mengambil obat di persediaan obat dapur, tidak sengaja ia menyenggol benda di samping kirinya. Benda itu meluncur jatuh. Terdengar suaranya cukup keras.

Praaaanngg….

Ricka kaget mendengar suara itu. Ia buru-buru membersihkan pecahannya dan mengambil lap, kain pel. Saat Ricka sedang sibuk membersihkan pecahannya, ia tidak menyadari kalau Dwi memasuki restaurant dengan tiga orang temannya. Ia segera membawa bungkusan pecahan kaca ke dapur.

Karena tidak ingin membuat kesalahan lagi, Ricka memutuskan untuk istirahat. Ia mencari obat di dapur lalu izin pada kepala dapur untuk beristirahat sejenak. Ricka beralih ke ruang istirahat pegawai. Ia tidur untuk menghilangkan rasa pusing di kepalanya.

***

Dwi memasuki restaurant dengan Yadi, Aryo dan Dion. Mencari tempat duduk yang nyaman. Saat ia ingin memesan, matanya menangkap sosok Ricka berjalan ke arah dapur. Dwi sedih melihatnya. Ricka pasti sudah muak denganku. Buktinya ia pergi gitu aja begitu Aku masuk. Dia pasti berpikir Aku membohonginya. Melihatku saja nggak mau. Batin Dwi nelangsa.

Dwi makan siang bersama tiga temannya dengan perasaan tidak tenang. Pikirannya berkelana. Ia mengamati gerak gerik Ricka yang masuk ke dapur dan tak keluar lagi. Menghela napasnya sedih, ia melanjutkan makan dengan tak berselera. Niat yang awalnya ingin melihat Ricka karena setitik rasa rindu di hati menguap menjadi rasa sedih melihat sikap Ricka.

Aryo yang melihat sikap Dwi menggelengkan kepalanya pelan. Ia pernah mengalami situasi yang sama. Dijauhi karena kekurangan yang ia punya. Bahkan Aryo sempat ingin bunuh diri. Tapi ia ingat bahwa Allah sangat membenci orang yang berpikiran pendek. Aryo bangkit dari rasa terpuruknya. Ia mencari pekerjaan hingga bertemu dengan Dwi. Mereka lalu bekerja sama dan membangun Amart design dengan yang lainnya juga. Mereka bertemu saat ada pertemuan perkumpulan difabel disabilitas di Yogyakarta.

Mereka bergerak di bidang yang sama yaitu ilmu teknologi. Dan akhirnya terciptalah Amart design. Yang di modali Dwi. Dwi sebelumnya bekerja sebagai SA sebuah perusahaan teknologi. Namun sejak ada Amart design, Dwi mengundurkan diri dan fokus membangun karir di Amart design.

Aryo tersadar dari pikirannya akan masa lalu. Saat ia terpuruk dan bertemu dengan teman-teman Amart design. Ia tidak ingin Dwi mengalami hal yang sama. Aryo menatap Dwi lekat-lekat. Sedangkan yang ditatap tetap asyik dengan kegiatannya.

Dwi mengunyah makanannya dengan pelan. Tak sadar jika diperhatikan Aryo. Pandangannya masih tertuju pada pintu dapur. Ia tidak mendengarkan ucapan para sahabatnya yang membicarakan pekerjaan. Ia asyik sendiri mengunyah sembari mengamati pintu dapur. Pintu dapur terbuka, Dwi segera menegakkan badannya semangat. Tapi begitu melihat siapa yang keluar dari pintu itu, bahunya kembali meluruh tak semangat.

Aryo menepuk punggung tangan Dwi. Aryo sudah bosan melihat kelakuan Dwi. Dwi menoleh ke arah Aryo, menatapnya seakan bertanya ada apa. Aryo menghela napas pelan, kemudian berkata, "Sudah… jangan terlalu dipikirin. Nanti malah mau ngapa-ngapain nggak enak.”

Dwi mengangguk lesu. Tak ada niat untuk membalas ucapan Aryo. Ia menunduk, menatap makanan di piringnya yang tinggal sedikit. Ia mengangkat kepalanya dan melihat teman-temannya yang sudah selesai makan. Ia menghela napas berat kemudian menghabiskan makanannya dengan cepat.

Mereka meninggalkan restoran. Saat sudah sampai di seberang jalan, Dwi membalikkan badannya. Melihat kembali ke restoran. Ia melihatnya keluar. Ia mengembuskan napas lega. Tapi ada yang aneh di sana.

Perasaan yang semula bahagia melihat Ricka muncul, berubah menjadi khawatir. Hatinya bergejolak tak tenang. 'Ada apa dengan Ricka?' gumamnya.

To be continued

947 Words
Saturday, 23 Desember 2017
3.55 AM

Till I Reach It [Complete] - RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang