TIRI-DUA PULUH ENAM

2.5K 183 21
                                    


Maju dan hadapi.
Karena dengan lari kamu akan dikejar rasa bersalah.


B

urung berkicauan dengan riuh. Langit begitu cerah, cuaca hari ini sama cerahnya dengan kemarin. Dwi berdoa apa yang ia harapkan hari ini bisa secerah alam pagi ini. Dwi sudah berencana untuk ke rumah orang tuanya sejak pulang dari rumah Ricka dua hari lalu.

Dwi mengambil sebuah paper bag di almarinya. Ia buka kotak di dalamnya. Semoga ibu dan Mbak Yanti menyukainya. Dwi memasukkannya ke dalam tas kecilnya. Lalu ia selempangkan tasnya. Ia ambil kunci motornya kemudian beranjak berangkat menuju rumah orang tuanya.

Sebelum Dwi mengegas motornya. Ia berdoa, semoga apa yang ia rencanakan bisa lancar semuanya. Entah kenapa perasaannya tak enak. Ada rasa was-was melingkupinya. Mencoba mengabaikan perasaannya, ia mengegas motornya, melajukannya ke rumah orang tuanya.

***

Rumah itu begitu lengang. Dwi merasa sedikit aneh dengan suasananya. Biasanya Mbok Larsih atau Pak Atmo ---tukang kebun keluarga Dwi--- sedang di luar menyapu halaman atau mengurus tanaman. Namun apa yang dilihatnya benar-benar di luar dugaannya.

Terdapat kerutan di dahi Dwi saat dirinya melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah. Halamannya masih kotor. Itu berarti halamannya belum disapu. Tapi kemana Mbok Larsih atau Pak Atmo? Lalu Pak Karmin? Benak Dwi semakin bertanya-tanya.

Dengan langkah sedikit tergesa-gesa, Dwi mengetuk pintu sedikit kencang. Hingga terdengar suara gedebuk. Kernyitan di dahi Dwi semakin dalam. Ada apa ini? Dwi semakin menerka-nerka apa yang terjadi dengan keluarganya.

Pintu terbuka, menampakkan Mbok Larsih dengan wajah sembabnya. Dwi terkesiap melihatnya.

“Mbok… Ada apa? Suara apa tadi?” tanya Dwi panik.

“Nggak apa-apa, Mas. Tadi Mbok nggak sengaja kesandung kaki kursi jadi jatuh.”

“Hati-hati, Mbok. Terus pada kemana? Kok sepi?”

“Anu mas… itu ibu….”

“Ibu kenapa?” Hati Dwi semakin tak karuan. Kenapa dengan ibunya. Baru sebulan yang lalu ia bertemu dengan orang tuanya. Mereka masih baik-baik saja. Lalu sekarang ada apa?

“Semalam waktu ibu lagi ke supermarket, supermarket itu dirampok. Ibu kena tusuk salah satu perampok, Mas.”

“Astaghfirullah… terus ibu di mana?”

“Di kamar, Mas. Ibu nggak mau dirawat di rumah sakit.”

“Ya sudah biar Aku yang bicara, Mbok.”

Mbok Larsih mengangguk. Lalu menghela Dwi menuju kamar orang tua Dwi. Di sana terlihat ibunya sedang terbaring dengan wajah pucat pasi, infus tertancap di tangan kirinya. Di samping kanannya ada ayahnya yang menggenggam tangan ibunya erat. Sedangkan Mbak Yanti dan Agung duduk di kursi tak jauh dari ranjang ibunya.

Sesuatu mendesak ingin keluar dari kelopak matanya. Dadanya sesak melihat kondisi ibunya. Jantungnya berdebar lebih kencang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika ibunya tak segera dibawa ke rumah sakit. Napasnya memburu cepat. Dengan langkah lebar, dihampiri ibunya.

Romo bergeser memberikan tempat untuk Dwi. Namun tak meninggalkan sang istri yang sedang sakit.

“Ibu… ibu dengar Dwi kan?”

“Ibumu istirahat dan masih dalam pengaruh obat bius,” jawab Romo.

“Bagaimana keadaan ibu, Romo?”

Till I Reach It [Complete] - RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang